Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DPR meminta pemerintah mengevaluasi aturan terkait harga avtur. Hal ini merespon adanya kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menekankan perlunya revisi aturan harga eceran tertinggi (HET) untuk BBM penerbangan atau avtur yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM nomor 17 tahun 2019.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan, dalam merevisi atau mengevaluasi, perlu dilihat terlebih dahulu struktur biaya avtur. Karena komponen biaya pembentuk struktur harga avtur tidak hanya dari bahan bakunya saja.
Akan tetapi juga ada komponen bahan impor sehingga menyebabkan adanya bea impor, transportasi, dan inventarisasi logistik untuk penyimpanannya.
Menurut Eddy, pemerintah mesti menghitung masing-masing komponen untuk melihat secara aktual biaya avtur. Setelah itu, juga perlu dihitung margin yang memang harus diberikan untuk badan usaha yang mensuplai avtur tersebut.
Baca Juga: Harga Avtur Tinggi, Pengamat Beberkan Segudang Persoalan
"Kita belum tahu struktur biayanya, jadi itu harus dirinci terlebih dahulu sebelum kemudian menetapkan atau kita memberikan kepastian apakah harga avtur hari ini mahal atau tidak," ujar Eddy kepada Kontan, Jumat (5/7).
Jika harga avtur saat ini dianggap terlalu mahal, Eddy meminta untuk melihat apakah hal itu karena margin keuntungan yang tinggi atau karena ada komponen biaya yang memang perlu dievaluasi dan disesuaikan.
"Ini yang perlu kita dapatkan rinciannya terlebih dahulu sebelum menetapkan bahwa hari ini avtur kita terlalu mahal dibandingkan negara-negara lain," kata Eddy.
Anggota KPPU Budi Joyo Santoso, mengatakan bahwa evaluasi ulang terhadap formulasi avtur sangat penting, terutama terkait besaran konstanta sebesar Rp 3.581 per liter dan pajak PPh22 yang dikenakan khususnya untuk avtur produksi domestik.
Menurut data, konsumsi avtur dari tahun 2019 hingga 2023, dengan mengurangi konstanta tersebut menjadi Rp 2.000 per liter, diperkirakan biaya BBM penerbangan dapat dihemat hingga Rp 24,8 triliun. Penghematan ini diharapkan dapat menurunkan harga tiket pesawat dalam periode yang sama.
Budi menyayangkan, meskipun KPPU telah mengajukan usul ini kepada Kementerian ESDM, respons yang diterima hanya permintaan waktu dan analisis lebih lanjut dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Keputusan Menteri ESDM nomor 17 tahun 2019 dianggap sudah cukup lama dan belum mengakomodasi dinamika pasar yang terus berubah.
Dampak dari kebijakan saat ini adalah harga avtur di Indonesia menjadi lebih tinggi dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura, dimana terdapat liam sampai enam penyedia avtur yang membuat harga lebih murah karena distribusi yang lebih efisien.
KPPU menilai bahwa revisi aturan ini penting untuk menjaga daya saing industri penerbangan domestik, mengurangi ketergantungan pada impor avtur, dan secara keseluruhan mendukung ekonomi nasional dalam sektor penerbangan.
Sementara itu, Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengungkapkan, beberapa penyebab mahalnya harga avtur di Tanah Air. Pertama, kewajiban Pertamina untuk menyediakan avtur di bandara-bandara terpencil (remote area). Hal itu menyebabkan biaya angkut dan penyimpanan tidak sepadan dengan volume penjualan. Sehingga, ini perlu adanya subsidi silang dari pemerintah.
Kedua, harga avtur dibebani Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% untuk penerbangan domestik. Sedangkan, untuk penerbangan rute internasional dibebaskan dari pajak tersebut.
"Ketiga, pemerintah sudah buka pintu untuk penyedia avtur selain Pertamina dengan syarat mereka juga ikut supply ke bandara-bandara di pelosok. Namun mereka maunya hanya di 5 bandara besar. Soekarno-Hatta, Juanda, Denpasar, Sultan Hasanuddin dan Kualanamu," ungkap Alvin.
Keempat, harga avtur termurah berada di Bandara Soekarno – Hatta dan Batam. Bahkan di Bandara Halim Perdanakusuma, harga avtur memiliki selisih harga yang cukup signifikan dibanding Bandara Soekarno – Hatta.
Alvin berpandangan, semakin jauh jarak bandara dari Jakarta, maka harga avtur tampak semakin mahal.
"Kelima, on top of that, Badan Pengelola Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) juga mengutip persentase dari penjualan avtur sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Padahal tidak ada peran mereka, hanya memungut biaya saja," tandasnya.
Baca Juga: Harga Tiket Pesawat Mahal, Pengamat: Biaya Operasional Maskapai Juga Naik Signifikan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News