Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perairan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, tercemar tumpahan minyak akibat patahnya pipa milik PT Pertamina (Persero), akhir Maret lalu.
Siswanto Rusdi, Direktur Eksekutif The National Maritime Institute (Namarin), menilai, kemungkinan patahnya pipa Pertamina di Teluk Balikpapan disebabkan jangkar kapal, semakin besar.
Hal itu bisa dilihat dari beberapa fakta yang terungkap, termasuk melihat sepesifikasi kapal berbendera Panama Ever Judger yang terbakar.
“Kondisi pipa Pertamina sangat kuat, sehingga tidak mungkin akan patah tanpa energi yang sangat besar. Salah satu kemungkinan terbesar adalah karena tertarik jangkar kapal Ever Judger,” kata Siswanto di Jakarta, Senin (16/4).
Jangkar yang dimiliki kapal berbendera Panama tersebut, menurut Siswanto memang cukup besar. Dengan panjang sekitar 230 meter dan berat GT44060, dia menduga, kapal tersebut memiliki dua jangkar di kiri dan kanan lambung. Masing-masing berat jangkar bisa mencapai 5 ton - 7 ton. “Jangkar seberat itu sangat mungkin memutuskan pipa Pertamina,” kata Siswanto.
Dalam keadaan statis, lanjut dia, posisi jangkar bisa saja tidak menancap seperti anak panah. Perbedaan manuver peletakkan jangkar memang bisa berbeda, tergantung kapten kapal setelah memperhatikan arahan peta laut.
Jangkar yang berada dalam posisi melandai itulah, kata Siswanto, sangat mungkin dimainkan arus. Dan jika arus semakin kuat, bukan tidak mungkin menggeser posisi jangkar yang besar.
Menurut Siswanto, bukan hanya jangkar yang bisa tergeser oleh arus laut, tapi juga kapal. Karena itu, kata dia, meski kelihatannya tenang, kekuatan arus bawah memang sangat kuat.
Siswanto tidak menampik, kemungkinan adanya pelanggaran buang jangkar di lokasi kejadian memang bisa saja terjadi. Pasalnya, meski otoritas pelabuhan sudah memberikan peringatan, kapten kapal bukan mustahil mengabaikan hal tersebut. Apalagi, posisi syahbandar sebagai otoritas berada di darat sedangkan kapten berada pada kapal.
Harus diinvestigasi
Seharusnya, lanjut Siswanto, yang bisa menjembatani antara keduanya adalah pandu. Dalam hal ini, seorang pandu ikut naik ke kapal dan memberi arahan kepada kapten. Hanya saja, dalam kasus kapal Ever Judger, tidak diketahui apakah pandu ikut naik ke kapal atau tidak.
“Inilah yang harus diinvestigasi lebih dalam. Mengapa sampai kapal tersebut diduga melanggar rambu-rambu dan membuang jangkar. Karena kalau tidak ada pandu, maka 100 persen navigasi berada di tangan kapten,” imbuh Siswanto.
Sementara itu, guru besar Universitas Indonesia (UI) Profesor Budyatna mendesak pihak berwenang untuk segera menuntaskan investigasi. Dengan demikian bisa diketahui, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas putusnya pipa Pertamina.
“Apalagi kalau benar bahwa semua itu disebabkan pelanggaran kapal berbendera Panama, kita tidak boleh kecolongan lagi seperti kasus serupa di Raja Ampat. Ketika itu, kapal sudah menghilang padahal terumbu karang kita hancur,” kata Budyatna.
Dalam konteks itu pula, Budyatna juga mendesak Pemerintah untuk segera bertindak. Jika benar dugaan bahwa kasus ini disebabkan pelanggaran kapal asing, harusnya, Pemerintah segera mengajukan gugatan melalui peradilan internasional. Langkah hukum ini sangat penting, agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.
“Pemerintah jangan lemah. Kita kan punya banyak pakar hukum internasional. Kita tidak bisa membiarkan, mereka harus bertanggung jawab. Ini menyangkut kedaulatan negara kita,” tandas Budyatna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News