Reporter: Oginawa R Prayogo | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Dari tahun 2001 sampai 2012, tercatat ada 175 production sharing contract (PSC) atau bagi hasil pengeboran antara investor migas dengan pemerintah. Dari kontrak eksplorasi tersebut, investor telah menghabiskan modal hingga US$ 9 miliar.
Sayangnya, kontrak pengeboran tak sesuai dengan cita-cita. Eddy Tampi, Chairman PT Sele Raya Merangin Dua, salah satu kontraktor migas mencatat, sebagian besar kontrak tersebut merugi. "Dari 175 PSC, 165 PSC merugi sebesar US$ 7 miliar," kata Eddy dalam diskusi terbuka soal investasi migas di Indonesia di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (19/12).
Eddy mengatakan, hanya 10 kontrak PSC yang berhasil, sehingga bisa mendapat dana cost recovery dari pemerintah sebesar US$ 2 miliar. Eddy bilang, yang merugi itu merupakan contoh bagaimana investasi sektor migas tinggi resiko, tinggi biaya, apalagi menggunakan teknologi yang tinggi.
Eddy juga bilang, jika investor mengalami kerugian besar tetapi di sisi lain pemerintah malah mendapat penerimaan yang besar. Dia bilang, dari total kegiatan eksplorasi 175 PSC sebesar US $ 9 miliar itu, pemerintah malah mendapatkan pemasukan US $ 1,1 miliar.
"Dari signature bonus US$ 200 juta dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% sebesar US $ 900 juta," jelas Eddy. Berdasar fakta itu, Eddy menyindir ke pemerintah. "Kami menyampaikan apresiasi kepada Menteri ESDM yang menarik investor migas tanpa keluar uang US$ 1 pun," kata Eddy.
Atas dasar itulah, Eddy menyarankan pemerintah lebih serius mengurus sektor migas. Eddy mengatakan, ada beberapa hal yang harus dibenahi dalam investasi migas di Indonesia. Diantaranya adalah; mempermudah pembebasan lahan, mempermudah pengurusan izin prinsip pengeboran dan izin masuk peralatan pengeboran, penghapusan PPN 10% dan suasana investasi yang kondusif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News