kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekspor baja turun 9% di semester satu


Senin, 18 Juli 2016 / 06:00 WIB
Ekspor baja turun 9% di semester satu


Reporter: Pamela Sarnia | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Sejak awal tahun, ekspor baja bergerak turun. Sampai tengah tahun, ekspor produk dari baja terus berlanjut. Meski harga naik, namun geliat ekspor produk logam tersebut belum terlihat.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), paruh pertama tahun ini ekspor produk baja turun 9% menjadi US$ 835,6 juta. Khusus Juni saja, ekspor baja anjlok 52% ketimbang Mei jadi US$ 92,1 juta.

Salah satu perusahaan yang mencatat penurunan ekspor adalah PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST). Semula, GDST mematok ekspor 20% atas penjualan, namun realisasinya jauh panggang dari api. "Porsi ekspor kami semester satu 6%-7% ," kata Hadi Sutjipto, Direktur dan Sekretaris Perusahaan GDST kepada KONTAN, Minggu (17/7).

Merujuk laporan GDST di Bursa Efek Indonesia, ekspor GDST sampai April 2016 hanya Rp 7,29 miliar dengan kontribusi 2,6% dari total penjualan Rp 275,46 miliar. Ekspor tersebut turun 91,3% ketimbang realisasi ekspor periode yang sama tahun 2015.

Hadi bilang, penurunan ekspor karena GDST hanya ekspor ke Malaysia dan Singapura. GDST tak lagi ekspor ke Taiwan, Meksiko dan Eropa karena terbebani bea masuk. Saat ini, ekspor GDST ke Eropa mencapai Rp 49,2 miliar dengan kontribusi 44% dari total ekspor tahun 2015.

Hidayat Triseputro, Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) menilai, penurunan ekspor karena harga baja belum pulih. Meski membaik, harga baja itu masih di bawah ekspektasi pebisnis.

Di Februari 2016, harga baja canai panas atau hot rolled coils (HRC) tercatat US$ 325-US$ 330 per ton usai menyentuh titik terendah US$ 300-310 per ton pada Desember 2015. Sementara Maret 2016, harga HRC naik jadi US$ 409 per ton.

Dalam kondisi ini, ada dua kemungkinan, pertama eksportir wait and see menunggu harga naik. Kedua, pasar tak menyerap karena harga tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×