Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Tendi Mahadi
"Kendalanya di situ untuk proses produksi, karena harus dipertimbangkan juga output-nya. Jadi bukan tidak bisa (diolah), tapi cost-nya lebih tinggi. kalau ore dengan kandungan nikel sebesar 1,8% masih masuklah. Kandungan nikel di bawah itu nanti akan kami blending. Kalau kandungannya di bawah 1,75% ya tetap di-blending. Kadar nikel yang biasanya dihasilkan setelah diolah sekitar 10%-13%”, ujar Wahyudi.
Sementara itu, perusahaan smelter lokal, PT Trinitan Metals and Minerals Tbk (PURE) mengklaim bahwa pihaknya sudah memiliki teknologi yang mampu mengolah ore nikel kadar rendah bahkan hingga kadar 1% sekalipun. Deputy Director Trinitan Metals and Minerals, Andika Vidiarsa menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara teknologi yang dimiliki smelter dengan biaya produksinya.
Baca Juga: Energi Mega Persada (ENRG) menganggarkan capex hingga US$ 100 juta untuk tahun depan
Menurut dia jika smelter memiliki teknologi yang mumpuni, maka biaya produksi akan semakin efisien. Dia mengaku bahwa teknologi yang dimilikinya sudah mampu mengolah ore nikel kadar rendah secara efisien dan ramah lingkungan.
"Kalau teknologinya belum ada ya memang perlu dilakukan proses blending sehingga biaya produksi cenderung tinggi. Selain itu, klasifikasi ore kadar rendah juga ada macam-macam jenisnya. Di sini kami sudah memiliki teknologi yang mampu mengolah ore kadar rendah hingga jenis yellow lemonite, yaitu ore dengan kadar 1% - 1,5%. Maka kami ga perlu melakukan proses blending untuk mengolah ore kadar rendah," tutup Andika.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News