Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Larangan ekspor ore nikel yang akan berlaku awal tahun 2020 masih menyisakan kekhawatiran dari sejumlah pihak. Pasalnya ada risiko ore kadar rendah yang bertumpuk, lantaran tidak dapat diolah oleh smelter dalam negeri. Lalu, benarkah ore kadar rendah tidak dapat diolah oleh smelter dalam negeri?
Penambang asal Sulawesi, Zaldy Layata mengungkapkan kekhawatirannya pada ore kadar rendah 1,4% - 1,5% akan ditumpuk. Menurut Zaldy kadar ore nikel minimum yang biasanya dapat diolah industri smelter di Indonesia adalah kadar 1,8%, sedangkan kadar 1,7% terkadang diterima oleh smelter, meski kata dia sering ditolak.
Baca Juga: Darma Henwa (DEWA) raih proyek infrastruktur senilai Rp 14,7 miliar
Lebih lanjut, Zaldy mengaku bahwa pihaknya tengah menjajaki kerjasama dengan smelter-smelter domestik untuk persiapan Januari 2020. Untuk itu, Zaldy sudah mulai memproduksi kadar tinggi (high grid) agar dapat diserap smelter domestik.
"Biasanya kami kawinkan ore nikel berkadar 1,5% dengan ore nikel berkadar 1,9% hingga dapat menghasilkan kadar 1,7%, atau kawinkan ore nikel berkadar 1,6% dengan ore nikel berkadar 1,9% hingga dapat menghasilkan kadar 1,8%", kata Zaldy dalam siaran pers, Jumat (6/12)
Secara terpisah, Wahyudi Agus selaku penanggung jawab teknik & lingkungan smelter di Sulawesi Tenggara, PT Virtue Dragon Nickel, menjelaskan bahwa ore kadar rendah bisa saja diolah, namun diperlukan proses tambahan untuk mengolahnya.
Baca Juga: Dalam Omnibus Law, Kementerian ESDM terancam kehilangan wewenang pemurnian mineral?
Menurut dia, barang yang masuk dari penambang belum tentu sesuai yang diharapkan kadarnya. Maka pihaknya perlu melakukan blending untuk pendekatan kadar nikel seperti yang diinginkan dari sisi metalurgi.
"Kendalanya di situ untuk proses produksi, karena harus dipertimbangkan juga output-nya. Jadi bukan tidak bisa (diolah), tapi cost-nya lebih tinggi. kalau ore dengan kandungan nikel sebesar 1,8% masih masuklah. Kandungan nikel di bawah itu nanti akan kami blending. Kalau kandungannya di bawah 1,75% ya tetap di-blending. Kadar nikel yang biasanya dihasilkan setelah diolah sekitar 10%-13%”, ujar Wahyudi.
Sementara itu, perusahaan smelter lokal, PT Trinitan Metals and Minerals Tbk (PURE) mengklaim bahwa pihaknya sudah memiliki teknologi yang mampu mengolah ore nikel kadar rendah bahkan hingga kadar 1% sekalipun. Deputy Director Trinitan Metals and Minerals, Andika Vidiarsa menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara teknologi yang dimiliki smelter dengan biaya produksinya.
Baca Juga: Energi Mega Persada (ENRG) menganggarkan capex hingga US$ 100 juta untuk tahun depan
Menurut dia jika smelter memiliki teknologi yang mumpuni, maka biaya produksi akan semakin efisien. Dia mengaku bahwa teknologi yang dimilikinya sudah mampu mengolah ore nikel kadar rendah secara efisien dan ramah lingkungan.
"Kalau teknologinya belum ada ya memang perlu dilakukan proses blending sehingga biaya produksi cenderung tinggi. Selain itu, klasifikasi ore kadar rendah juga ada macam-macam jenisnya. Di sini kami sudah memiliki teknologi yang mampu mengolah ore kadar rendah hingga jenis yellow lemonite, yaitu ore dengan kadar 1% - 1,5%. Maka kami ga perlu melakukan proses blending untuk mengolah ore kadar rendah," tutup Andika.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News