kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Faisal Basri mengkritik hilirisasi industri pertambangan


Kamis, 30 Juli 2020 / 07:50 WIB
Faisal Basri mengkritik hilirisasi industri pertambangan
ILUSTRASI. Faisal Batubara atau lebih dikenal sebagai Faisal Basri adalah ekonom dan politikus asal Indonesia. Foto/KONTAN/Djumyati Partawidjaja


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom senior Faisal Basri mengkritik kebijakan peningkatan nilai tambah pertambangan di Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini masih dilakukan setengah hati. Dia menyoroti konsep hilirisasi pertambangan yang belum terintegrasi dengan pengembangan industri di dalam negeri.

Jika memakai strategi industrialisasi, kata Faisal Basri, barang tambang yang diolah akan digunakan untuk pengembangan industri di Indonesia. Namun dengan konsep seperti sekarang, barang tambang yang belum diolah menjadi produk jadi pun sudah terhitung sebagai hilirisasi.

Akibatnya, dia menyebut bahwa hilirisasi tambang di Indonesia malah menopang industri di negara lain.

"Jadi hilirisasi itu untuk menopang industrialisasi di China. Sadar, nggak, sih, kita?" kata Faisal Basri dalam webinar yang digelar oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rabu (29/7).

Baca Juga: Menteri ESDM tegaskan pentingnya kewajiban hilirisasi nikel di Indonesia

Faisal Basri memberikan gambaran tentang maraknya minat perusahaan China untuk mendirikan smelter di Indonesia, khususnya smelter nikel. Menurutnya, kebijakan hilirisasi saat ini lebih dominan menguntungkan para pengusaha smelter tersebut.

Dia mencontohkan, perusahaan tambang lokal harus membayar bea ekspor dan juga royalti, tapi smelter tidak dikenakan. Perusahaan smelter pun bisa semakin banyak menumpuk laba karena tidak terbebani oleh pajak badan karena mendapatkan tax holiday.

Terlebih, smelter pun bisa mendapatkan bahan baku berupa bijih atau ore nikel dengan harga yang sangat murah. Dengan berbagai fasilitas tersebut, perusahaan asal China lebih banyak mengantongi keuntungan jika membangun smelter di Indonesia ketimbang di negaranya.

"Kalau mereka bangun smelter di China, mereka beli nikel ore dengan harga jauh lebih mahal. Kalau Indonesia harganya murah sekali. Labanya jauh lebih besar memindahkan smelter ke Indonesia. Kalau di negeri asalnya dia bayar PPN, macam-macam, di sini nggak," terang Faisal Basri.

Lebih lanjut, Faisal Basri pun menyindir perlakuan terhadap pengusaha smelter, yang bahkan tetap bisa melenggang, membawa pekerja asing masuk ke Indonesia walaupun di tengah kondisi pandemi cobvid-19. "Katanya alih teknologi, traininglah," ujarnya.

Baca Juga: Kementerian ESDM bercita-cita bangun industri hilir batubara kapasitas 37,6 juta ton

Faisal Basri juga menilai, pelarangan ekspor bukan lah cara yang paling baik dalam kebijakan hilirisasi. Baginya, lebih baik ada perhitungan yang lebih jelas dan komprehensif tentang tarif ekspor yang optimal, untuk bisa mendistribusikan keuntungan bagi negara dan nilai tambah yang bisa dirasakan masyarakat.

"Dalam konsep ekonomi, berapa sih nilai tambah yang diterima oleh warga Indonesia? Baik pekerja, penambang maupun pemerintah? 5%, 95% lari ke China," lanjut Faisal Basri.

Dia pun lantas mengkritisi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilainya memiliki porsi besar dalam menentukan kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia, seolah melebihi Menteri ESDM Arifin Tasrif.

"Pak Luhut ngomongnya hilirisasi, hilirisasi. Wajib, wajib, wajib. Nanti yang untung siapa? Indonesia nggak dapat apa-apa. Saya enggak tahu sekarang menteri pertambangannya (ESDM) Pak Luhut atau Pak Tasrif. Karena yang lebih sering saya dengar adalah Pak Luhut," kata Faisal.

Baca Juga: Faisal Basri: Investasi kita kebanyakan untuk bangunan dan konstruksi

Terkait dengan industrialisasi, dia pun berpandangan kebijakan hilirisasi tambang malah bertolak belakang dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia yang terus terperosok. Menurutnya, Indonesia pun tidak menjadi bagian dari rantai supply global yang berbasis peningkatan nilai tambah.

Faisal Basri pun menyoroti kepercayaan diri Luhut Binsar yang sangat yakin Indonesia bisa menjadi pabrik baterai terbesar di dunia, khususnya dalam industri mobil listrik.

Pasalnya, industri baterai akan tumbuh di tempat yang sudah banyak menggunakan baterai atau mobil listrik. Faisal Basri tak yakin Indonesia benar-benar akan menjadi produsen baterai terbesar di Indonesia.

"Mau bikin industri baterai terbesar di dunia, ya, hampir mustahil," pungkas Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×