kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Freeport Indonesia butuh investasi US$ 1,4 miliar per tahun hingga 2023


Kamis, 10 Januari 2019 / 11:10 WIB
Freeport Indonesia butuh investasi US$ 1,4 miliar per tahun hingga 2023


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Operasional penambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) tengah memasuki fase transisi dari tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah (underground mine). Ini mengakibatkan kinerja produksi dan keuangan PTFI akan tertekan, setidaknya dalam dua tahun ke depan.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), holding perusahaan tambang BUMN yang kini memegang mayoritas saham PTFI pasca divestasi mengatakan, transisi tambang itu memerlukan investasi yang besar. Dalam setahun, investasi yang dibutuhkan PTFI berada pada kisaran US$ 1,1 miliar hingga US$ 1,4 miliar, terhitung dari tahun ini hingga 2023.

Budi bilang, dana tersebut tidak termasuk untuk investasi pembangunan smelter. "Sekarang sampai 2023 sekitar US$ 1,1 miliar-1,4 miliar per tahun, di luar smelter," ungkapnya saat ditemui dalam diskusi yang digelar KAHMI, di Jakarta, Rabu (9/1).

Budi menjelaskan, selain memerlukan investasi yang besar, masa transisi dari open pit ke underground mine itu akan menurunkan produksi dan juga pendapatan perusahaan. Alhasil, Inalum bahkan bisa tidak mendapatkan dividen selama tahun 2019-2020. Menurut Budi, dividen baru pasti bisa dinikmati pada tahun 2021 meski dengan jumlah yang sedikit.

Dividen baru akan stabil terhitung mulai tahun 2023. "Sudah dihitung, bottom line-nya kita nggak bagi dividen dua tahun. Tahun 2021 mulai ada sedikit, 2022 sudah besar, 2023 udah manteng (stabil), US$ 2 miliar," terang Budi.

Mengenai penurunan produksi PTFI selama masa transisi peralihan tambang ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan gambaran. Direktur Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengungkapkan, sepanjang tahun 2018, PTFI memproduksi konsentrat tembaga sebesar 2,1 juta ton.

Dari jumlah produksi konsentrat tersebut, lanjut Yunus, PTFI mengekspor sebanyak 1,2 juta ton pada tahun 2018. Sedangkan 800.000 ton sisanya dipasok ke Smelting Gresik untuk menjalani proses pengolahan konsentrat.

Pada tahun ini, produksi konsentrat tembaga PTFI diperkirakan akan turun menjadi 1,2 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebesar 1 juta ton diperkirakan akan digunakan untuk memenuhi kapasitas pengolahan di Smelting Gresik.

Alhasil, ekspor konsentrat tembaga PTFI pada tahun ini akan turun signifikan menjadi hanya sekitar 200.000 ton. "2019 turun produksinya. Itu jadi sekitar 1,2 juta ton konsentrat. Artinya bisa sekitar 200.000 ton diekspor, 1 juta ton diproses di Smelting Gresik," ungkap Yunus.

Pembangunan smelter

Sementara itu, pembangunan smelter menjadi poin yang krusial, baik dari sisi investasi PTFI, maupun komitmen perusahaan untuk mematuhi aturan yang telah tertuang dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang telah dikeluarkan pemerintah.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menegaskan, kepastian pembangunan smelter PTFI tidak bisa ditunda lebih lama lagi. Saat ini, kata Bambang, pembangunan smelter PTFI masih mengarah di lokasi Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur.

Namun, hingga kini rencana kerja pembangunan smelter tersebut belum pada tahap pembangunan fisik, melainkan baru sebatas pada pengerjaan rekayasa desain. "Dalam waktu dekat harus diputuskan. Enggak bisa lama-lama lagi," kata Bambang.

Adapun, saat ditanya soal pembangunan smelter serta penurunan kinerja operasional PTFI selama masa transisi, Budi enggan untuk memberikan keterangan. Alasannya, posisi dirinya sebagai dirut Inalum adalah pemilik saham mayoritas PTFI, sedangkan untuk urusan operasional perusahaan diserahkan pada direksi PTFI. "Tanya Pak Orias (Petrus Moedak), yang mengelola kan direksinya," jawab Budi.

Sebagai informasi, Orias Petrus Moedak merupakan Direktur Keuangan Inalum yang kini menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PTFI. Dalam wawancara ekskusif dengan KONTAN akhir tahun lalu, Orias sempat menjelaskan hitung-hitungan penurunan pendapatan perusahaan selama masa transisi penambangan, seperti yang pernah dimuat dalam Kontan.co.id pada artikel Begini hitungan dividen dan pembayaran global bond Inalum setelah punya Freeport.

Sementara mengenai pembangunan smelter, Orias memastikan bahwa PTFI akan mematuhi aturan dengan membangun smelter paling lama selama lima tahun sejak IUPK diberikan pemerintah pada 21 Desember 2018 lalu. Namun, Orias belum mau mengatakan dimana persisnya smelter itu akan dibangun.

Hanya saja, ia memperkirakan bahwa pembangunan smelter itu akan membutuhkan investasi sebesar US$ 2,5 miliar - US$ 3 miliar. Orias pun mengatakan bahwa PTFI tak menutup peluang untuk menggandeng mitra dalam proyek pembangunan smelter yang berkapasitas lebih dari 2 juta ton tersebut.

"Belum tahu (ketetapan lokasi), nanti kita bahas lagi. Pembagunannya mungkin tiga tahun, dua tahun ini ada waktu untuk kami analisa. Kami akan bangun mungkin (kapasitas) sampai 2 juta ton atau lebih. Tergantung, kalau mitra ikut kan kapasitas lebih besar," jelas Orias.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×