Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Berlarut-larutnya proses renegosiasi PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah membuat perusahaan asal Amerika Serikat itu gelisah. Hingga lima bulan pasca meneken kesepakatan amandemen kontrak, Freeport belum mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak hingga 2041. Padahal, kesepakatan itu harus dilakukan kedua pihak enam bulan atau berakhir 24 Januari 2015 sejak diteken Agustus 2014.
Dari enam poin yang sudah diteken, lima poin yang sudah disepakati pemerintah dan Freeport, yakni, kewajiban divestasi saham 30% ke kepemilikan nasional, kenaikan royalti untuk emas, perak, dan tembaga menjadi 3,75%, 3,25%, dan 4% dari harga jual.
Freeport juga bersedia membangun smelter mulai 2017 mendatang dan bersedia menggunakan kandungan lokal, serta menciutkan wilayah operasi tambangnya.
Hanya satu yang belum ada kesepakatan yakni perpanjangan kontrak hingga 2041 . Meski begitu, Freeport melunak, rela jika perpanjangan kontrak dilakukan selama 10 tahun saja hingga 2031.
Menurut Rozik B Soetjipto, Presiden Direktur Freeport Indonesia, pemberian perpanjangan operasi yang diatur dalam draf revisi kontrak akan memberikan kepastian usaha dan investasi.
Apalagi, Freeport janji mengeluarkan US$ 2,3 miliar untuk smelter dan eksploitasi tambang bawah bawah tanah (underground) sebesar US$ 9,5 miliar. Meski, masa berlaku operasi Freeport akan habis pada 2021 mendatang.
Kata Rozik, proyek tambang bawah tanah siap dikerjakan. Rencananya, pasca 2017, Freeport akan menutup tambang terbuka Grasberg, dan tambang yang akan beroperasi hanya blok underground seperti tambang Deep Ore Zone (DOZ), Big Gossan, Grasberg Block Cave, serta Deep Mill Level Zone. Pada tahun tersebut, Freeport juga sudah harus merampungkan konstruksi dan mengoperasikan smelter berkapasitas 400.000 ton copper chatode per tahun.
Karena itu, Freeport meminta pemerintah segera memberikan kepastian perpanjangan operasi untuk 10 tahun pertama dalam revisi kontrak. "Minimal itu jangka waktu untuk pengembalian modal, karena tambang underground baru berproduksi penuh pasca 2022 dan smelter membutuhkan kapasitas penuh juga," kata dia kepada KONTAN, pekan lalu.
Terbentur aturan
Sejatinya, dalam memorandum of understanding (MoU) amandemen kontrak dengan Freeport pada Agustus 2014 lalu, pemerintah telah memberikan kepastian perpanjangan operasi untuk dua periode hingga 2041 mendatang.
Dengan syarat, Freeport harus memenuhi komitmen salah satunya telah berhasil merealisasikan investasi pembangunan smelter dan tambang underground.
Selain itu, pemerintah juga tak bisa gegabah memberikan perpanjangan kontrak lantaran ada aturan yang mengatur. Pemberian perpanjangan operasi tersebut harus memenuhi ketentuan perundangan yakni PP Nomor 23/2010 yang telah diperbarui dengan PP Nomor 77/2014. Di mana, perpanjangan operasi bagi kontrak karya baru bisa diberikan dua tahun sebelum masa kontrak habis, dan pola konsesinya berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM belum mau membeberkan apakah pemerintah setuju dengan keinginan Freeport. "Nanti dijelaskan Menteri ESDM Sudirman Said," ujarnya singkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News