Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoensia (Gapki) meminta pemerintah dan DPR satu suara menghadapi resolusi sawit Parlemen Uni Eropa. Dengan demikian, sikap lembaga eksekutif dan legislatif lebih kuat dan diharapkan didengar Uni Eropa.
Sebab sikap negatif terhadap ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dinilai lebih mengarah pada perang dagang, karena minyak nabati lainnya di Eropa kalah bersaing dengan CPO dan turunannya.
Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan, pengusaha berharap pemerintah dan legislatif satu suara menolak resolusi sawit Parlemen Uni Eropa. Penolakan ini merupakan satu sikap tegas kedua lembaga untuk melindungi sawit sebagai komoditas strategis negeri ini.
“Sawit ini kepentingan nasional, selayaknya pemerintah dan masyarakat membela sawit yang telah berkontribusi terhadap perekonomian maupun pengentasan kemiskinan di Indonesia.” kata Joko, Jumat (21/4) .
Joko menilai tuduhan yang ditujukan kepada industri sawit dan berujung dengan adanya resolusi Parlemen Eropa merupakan kepentingan politik semata untuk mendiskriminasi industri sawit. Lanjutnya, isu tersebut saat ini tidak berpengaruh terhadap ekspor, namun hal ini bisa mengundang negara-negara lain melakukan hal serupa akibat berkembangnya stigma negatif dari pemberitaan isu resolusi ini terutama di negara Eropa dan Amerika.
Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo menambahkan, sikap Parlemen Eropa yang memojokkan industri sawit di Indonesia, bisa menjadi awal kebangkitan bersama untuk menyatakan sikap dalam satu suara. “Ke depan pemerintah dan para pemangku kepentingan harus bersikap sama. Jangan lagi ada satu kementerian mendukung perkembangan industri sawit, sementara yang lain menghambat. Ini yang harus kita perbaiki bersama jika ingin maju,” ujar Edhy.
Politisi Gerindra ini mengatakan keputusan parlemen Eropa yang mempublikasikan Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests (RPODR) tanpa melakukan diplomasi dengan parlemen di Indonesia merupakan bentuk penghianatan terhadap parlemen dan pemerintah di Indonesia.
Apalagi selama ini, Indonesia sudah mengikuti persyaratan. Bahkan, pada pertemuan tahunan yang menjadi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yakni Conference of Parties(COP) ke 21 di Paris pada 2015 dan COP ke 22 di Maroko pada 2016, Indonesia menjadi negara pertama yang meratifikasi.
Menurut Edhy, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia telah menunjukkan perhatiannya terhadap perubahan iklim dunia. Menurutnya, laporan parlemen Eropa sangat bombastis. Pernyataan itu semata-mata hanya berlandaskan persaingan bisnis minyak nabati dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News