Sumber: Antara | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menegaskan pemerintah harus mempertahankan industri sawit nasional sebagai tulang punggung ekonomi bangsa, karena selama ini terbukti sektor tersebut mampu menyumbangkan devisa bagi negara serta menyejahterakan masyarakat.
"Sumbangan sektor kelapa sawit terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat sangat nyata," kata Juru bicara Gapki Tofan Mahdi di Pelalawan Riau, Kamis (2/6).
Menurut dia, ke depan sektor kelapa sawit tidak hanya dipertahankan sebagai tulang punggung ekonomi bangsa namun juga tetap dijaga agar Indonesia menjadi produsen nomer satu di dunia.
Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah menyiapkan moratorium untuk lahan kelapa sawit dan lahan tambang setelah pemerintah resmi mengeluarkan aturan penundaan pemberian izin baru di lahan gambut mulai 13 Mei 2015.
Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut Gapki mencatat total tenaga kerja sektor kelapa sawit mencapai 7,9 juta jiwa di 2015, meningkat dibandingkan tahun 2014 sebanyak 7,6 juta jiwa.
Sedangkan produksi sawit di 2016 diperkirakan akan meningkat menjadi 33,5 juta ton meningkat sedikit bila dibandingkan tahun 2015 sebesar 31 juta ton.
Hal senada dinyatakan Ketua DPRD Kabupaten Pelalawan, Riau, Nazaruddin bahwa kelapa sawit merupakan aset ekonomi nasional dan telah terbukti mampu menyelamatkan perekonomian bangsa saat menghadapi krisis selama 1999 hingga 2000.
Dia menilai, keuntungan ekonomi yang ditimbulkan dari sektor industri kelapa sawit tidak hanya diterima perusahaan besar, namun juga memiliki efek berantai yang dinikmati masyarakat.
Berbeda dengan industri pertambangan ataupun Kehutanan yang kurang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sementara itu terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang selama ini dikaitkan dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit, Tofan yang juga merupakan juru bicara PT Astra Agro Lestari (AAL) menyatakan, perusahaan selalu berkomitmen terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Dia mengungkapkan sebagai wujud komitmen tersebut, membentuk divisi tersendiri untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan yakni "Fire Prevention Departement".
Topan mengakui imbas kebakaran tahun 2015 juga dianggap merugikan industri sawit, karena opini yang muncul adalah sawit yang menyebabkan kebakaran lahan, padahal kalau melihat data di atas sawit bukan penyebab kebakaran terbesar.
Menurut data Globalforestwatch, lembaga pemantau hutan global, kebakaran di Indonesia tahun lalu terjadi di lahan mineral sebesar 51 persen dan lahan gambut (49 persen).
Sebaran kebakaran di lahan gambut tersebut terjadi di lahan/hutan negara (luar konsesi) seluas 59 persen, di konsesi HTI seluas 26 persen, di konsesi lahan sawit 10 persen, dan di konsesi logging 5 persen.
Langkah pencegahan Sementara itu Kepala Departement Fire Prevention PT AAL Ahmad Wahyudi menyatakan, pihaknya bersama anak perusahaan yakni PT Sari Lembah Subur (SLS) menerapkan berbagai langkah pencegahan kebakaran hutan dan lahan seperti pembentukan dan penguatan tim tanggap darurat kebakaran lahan.
Identifikasi area rawan terbakar, pemenuhan sarana dan infrastruktur serta pencegahan berbasis masyarakat dengan pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA).
Perusahaan sawit tersebut juga mengalokasikan anggara sebesar Rp30 miliar untuk divisi pencegahan kebakaran yang mana pada tahun ini telah terserap Rp27,5 miliar.
Menurut Administratur PT SLS Suparyo, pada tahun ini perusahaan mencanangkan "zero fire" di lokasi pengelolaan dan wilayah kerja perusahaan dan lahan serta hutan yang berbatasan dengan wilayah kerjanya.
Sebagai langkah mewujudkan itu pihaknya membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) di setiap wilayah kerja yang rawan mengalami kebakaran, selain itu, juga membentuk Regu Pemadam Kebakaran di setiap wilayah kerja perusahaan, agar pada saat penanggulangan kebakaran yang membutuhkan jumlah tenaga yang lebih banyak, perusahaan sudah mempunyai tenaga khusus dan terlatih.
SLS juga memiliki sistem penanggulangan kebakaran, diawali dengan membuat status rawan kebakaran (rendah, sedang, tinggi dan ekstrim), yang mana setiap level upaya dan tindakan yang diambil berbeda, misalkan pada level rendah dan sedang perusahaan belum mewajibkan untuk dilakukan kegiatan patroli api.
"Pada level tinggi dan ekstrim, kami mewajibkan kegiatan patroli dan penjagaan di setiap menara pantau," katanya.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga melakukan perbaikan infrastruktur dan tata kelola air yang baik, pembuatan akses jalan, terutama pada lahan lahan yang sulit ditempuh karena jauh dari perbatasan wilayah kerja perusahaan.
Adanya tata kelola air yang baik, diharapkan pada saat kegiatan penanggulangan kebakaran tidak mengalami kesulitan mencari sumber air atau tampungan air guna memperlancar kegiatan penanggulangan.
Suparyo mengungkapkan, sampai saat ini PT Sari Lembah Subur telah memiliki peralatan tangan seperti kepyok api, garu cangkul, kapak dua fungsi, sekop, backpack pump, kemudian peralatan pemadaman (dua mobil pemadam kebakaran, portable pump tekanan tinggi 10 unit, portable pump robin 45 unit, material foam 2.000 liter.
kemudian peralatan pencegahan dan patroli Karlahut yaitu 9 unit menara pantau, 5 unit embung air, 2 unit mini drone, 9 posko karlahut, 12 unit kanal blocking, 1 unit water belting.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News