Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyoroti kebijakan pemerintah terkait kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dalam 3 tahun terakhir yang sangat eksesif dan efek berganda (multiplier effect) bagi kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) legal di tanah air.
Henry Najoan mengungkapkan, kenaikan CHT tahun 2020 saat awal pandemi Covid-19, CHT naik rata-rata 23%, Harga Jual Eceran (HJE) naik 35%. Kemudian, tahun 2021 di masa pandemi Covid-19, sambung Henry Najoan, kenaikannya masih sangat luar biasa, CHT naik rata-rata 12,5%. Dan, pada tahun 2022, dimana pemerintah masih berupaya memulihkan perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19, disusul kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih lesu, daya beli sangat lemah, CHT naik rata-rata 12%.
Henry Najoan menegaskan kenaikan tarif cukai yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar, sebagaimana hasil kajian lembaga riset Indodata tahun 2021 dinyatakan bahwa peredaran rokok ilegal mencapai 26,30%, atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp53,18 triliun.
“Sejatinya kondisi industri hasil tembakau legal tidak sedang baik-baik saja!. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi riil IHT legal nasional saat ini,” kata Henry Najoan dalam keterangannya, Jumat (28/1).
Baca Juga: Mitra Angkasa Sejahtera (BAUT) Bidik Pertumbuhan Pendapatan Dobel Digit pada 2022
Catatan kritis kedua, menurut Henry Najoan, hingga saat ini penindakan rokok ilegal yang dilakukan pemerintah belum dapat mengungkap sampai ke ranah hulu (produsen). Pasalnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal makin merugikan penerimaan negara, dan merugikan produsen rokok legal serta berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat karena kualitas rokok ilegal tidak terkontrol mulai dari bahan bakunya sampai proses produksinya.
Karena itu, untuk melawan perdagangan rokok ilegal, Henry Najoan mendorong pemerintah dengan mempertimbangkan pendekatan multi-metode, termasuk membangun kemitraan, meningkatkan validitas dan keandalan data, meluncurkan kampanye pendidikan dan kesadaran publik, meningkatkan upaya peningkatan kapasitas, dan memprioritaskan intensifikasi pemberantasan peredaran rokok ilegal
Kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun ini, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.
“Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan tirani oleh kebijakan cukai,” kata Henry Najoan.
Catatan kritis ketiga, menurut dia, kehadiran Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Bab VII Cukai, Pasal 40B Ayat (1) menyatakan Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai.
Baca Juga: Airlangga Tekankan Pentingnya Pengembangan Model Bisnis yang Berdaya Saing
Pada Ayat (2) dinyatakan dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, diselesaikan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Dalam konteks itu, Henry Najoan menengarai bahwa pelanggaran atas rokok ilegal menggunakan azas ultimum remedium (mengesampingkan pidananya), sehingga ada kesan seolah pemerintah justru menggelar karpet merah atau memberikan insentif bagi rokok ilegal.
“Jika dugaan itu benar, seharusnya sanksi tegas diberikan bagi pelaku rokok ilegal sehingga memberikan efek jera, bukan diselesaikan secara administratif yang punya kesan negotiable dengan mengesampingkan pidana,” terang Henry Najoan.