Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Proses hilirisasi industri pertambangan ikut terganggu gara-gara kondisi ekonomi yang memburuk akhir-akhir ini. Pelemahan nilai tukar rupiah yang terus terjadi, membuat pengusaha mineral dan batubara mengelus dada.
Menurut Asosiasi Pengusaha Pertambangan Indonesia (Apemindo), gara-gara kurs melemah pembelian bahan baku dan mesin-mesin terganggu. Sebab, barang-barang tersebut harus diimpor dari luar negeri. Padahal, barang-barang itu digunakan untuk membangun pabrik smelter.
Ketua Apemindo Poltak Sitanggang bilang, hampir seluruh perusahaan yang berada di bawah Apemindo terpaksa menghentikan sementara pembangunan pabrik smelter. "Padahal investasi pembangunan smelter setiap perusahaan bisa sampai US$ 20 miliar," ujar Poltak, Rabu (8/10).
Dengan kondisi itu, pengusaha tambang mineral pesimistis bisa segera memproduksi barang mineral, kemudian mengekspornya. Meski demikian, Poltak tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah.
Menurutnya, pemerintah tidak memiliki keinginan untuk membantu pengusaha tambang kelas menenengah ke bawah. Padahal kebanyakan anggota Apemindo merupakan perusahaan tambang menengah ke bawah.
Sebelumnya, keluhan yang sama juga disampaikan oleh PT Antam. Namun, berbeda dengan Apemindo, Antam akan mengajukan agar diberi intensif fiskal, berupa pengurangan Pajak Penjualan (PPn) atas impor menjadi 0%, untuk mengurangi biaya pembangunan smelter.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Andin Hadiyanto mengatakan keputusan soal pemberian insentif fiskal hanya dikeluarkan peraturan pemerintah. Hingga kini belum ada rencana pemberian insentif tersebut.
Sementara itu, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual bilang, yang terganggu akibat pelemahan nilai tukar rupiah bukan hanya perusahaan tambang. Melainkan industri yang tergantung impor lainnya. Misalnya industri otomotif atau elektronik yang bahan baku dan bahan penolongnya berasal dari impor.
Karena yang diimpor bahan baku dan bahan baku penolong maka, jika itu terganggu maka produksi mereka juga terganggu. Apalagi, jika produk tersebut untuk tujuan ekspor akan membahayakan neraca perdagangan tahun 2014. "Jika neraca perdagangan defisit lebih dari ekspektasi, akan membuat neraca transaksi berjalan sulit turun di bawah 3%," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News