kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gasifikasi Batubara Butuh Dukungan Insentif Fiskal dan Nonfiskal


Kamis, 09 Maret 2023 / 17:40 WIB
Gasifikasi Batubara Butuh Dukungan Insentif Fiskal dan Nonfiskal
ILUSTRASI. Sejumlah pihak menilai proyek hilirisasi batubara merupakan tantangan besar yang membutuhkan banyak dukungan pemerintah baik itu dari sisi kebijakan, insentif fiskal dan non-fiskal, serta aspek lainnya.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak menilai proyek hilirisasi batubara merupakan tantangan besar yang membutuhkan banyak dukungan pemerintah baik itu dari sisi kebijakan, insentif fiskal dan non-fiskal, serta aspek lainnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, investasi di hilir batubara (coal downstream) khususnya gasifikasi batubara membutuhkan biaya yang mahal karena teknologinya belum dikuasai.

“Di sisi lain funding untuk proyek-proyek berbasis batubara juga semakin sulit sehingga untuk mencapai keekonomian dari proyek gasifikasi tentu harus memperhitungkan banyak aspek,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (9/3).

Baca Juga: Air Products Mundur dari Proyek Gasifikasi Batubara, Bukit Asam Cari Partner Baru

Tidak cuma itu, Hendra juga menyoroti keekonomian gasifikasi juga harus menimbang pembeli pasti (off-taker), harga jual batubara, insentif fiskal dan non-fiskal, jaminan konsistensi regulasi, dan banyak lainnya.

Sementara itu dalam beberapa waktu terakhir harga komoditas juga sedang menguat dan akan berlanjut di beberapa tahun ke depan. “Ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat aspek keekonomian proyek penghiliran batubara menjadi sangat menantang,” ujarnya.

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menyampaikan, keekonomian DME bukan hal yang mudah dilakukan. Penguatan melalui royalti batubara menjadi 0% (dalam UU Cipta Kerja), sebatas untuk volume yang dimanfaatkan hilirisasi tidak serta merta membuat DME ekonomis.

Seperti diketahui, DME masuk ke dalam kategori industri kimia bukan industri pertambangan. Semestinya kalau proyek ini dinilai memberi keuntungan besar oleh investor, proyek ini seharusnya dengan sendirinya dapat berjalan tanpa ditugaskan kepada pemilik tambang PKP2B/IUPK.

Namun kenyataannya, dalam UU Minerba proyek hilirisasi batubara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengajungan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Sehingga saya yakin, kewajiban untuk membangun DME bukan dinilai oleh PKP2B/IUPK pada sisi bisnis DME, namun lebih kepada kesempatan untuk mendapat perpanjangan selama 10 tahun dan dapat diperpanjang kembali selama 10 tahun,” ujar Singgih.

Singgih melihat, aspek keuntungan justru menjadi pilihan utama bagi si pertambangan batubara. Apalagi jelas DME bukan bidang yang dikuasai oleh pemilik tambang sehingga invetasi ‘mengimpor’ teknologi tersebut membutuhkan dana yang besar.

Maka itu, menurut Singgih, jika sejak awal jika pemerintah ingin mendorong DME semestinya bukan sebatas memberikan royalti 0%, melainkan tetap dilihat lebih pada sisi penguatan kebijakan fiskal/non fiskal atas proyek tersebut.

Singgih mengingatkan, jikalau proyek DME dipaksakan tetap dilakukan, jangan sampai perpanjangan IUPK sudah berjalan tetapi proyek gasifikasi batubara tidak teritegrasi. Ini akan melukai amanah Undang-Undang.

“Sehingga bisa saja, pilihan persyaratan bukan pada hilirisasi, namun dengan cara lain, misalnya dengan memperbesar kewajiban DMO atau cara lain yang dipilih dan disepakati antara ESDM dan PKP2B,” tandasnya.

Baca Juga: Air Products Mundur Dari Proyek Gasifikasi Batubara Bukit Asam (PTBA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×