CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.406.000   -6.000   -0,25%
  • USD/IDR 16.655   10,00   0,06%
  • IDX 8.622   9,88   0,11%
  • KOMPAS100 1.188   2,86   0,24%
  • LQ45 851   1,88   0,22%
  • ISSI 308   1,32   0,43%
  • IDX30 438   0,45   0,10%
  • IDXHIDIV20 510   1,21   0,24%
  • IDX80 133   0,32   0,24%
  • IDXV30 140   0,30   0,21%
  • IDXQ30 140   0,19   0,14%

Geber Produksi Migas, Indonesia Butuh Penyempurnaan Kebijakan Fiskal Hulu Migas


Kamis, 04 Desember 2025 / 09:28 WIB
Geber Produksi Migas, Indonesia Butuh Penyempurnaan Kebijakan Fiskal Hulu Migas
ILUSTRASI. Pengeboran migas lepas pantai oleh Pertamina.


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pencapaian target peningkatan produksi migas yang telah ditetapkan pemerintah pada dasarnya tidak mudah untuk dapat dicapai. Hal itu karena produksi migas nasional bergantung pada lapangan existing yang sebagian besar telah berada pada kondisi mature. 

Ketergantungan terhadap lapangan mature menjadi salah satu penyebab menurunnya produksi migas nasional selama periode 2014–2024. Secara rata-rata, produksi minyak selama periode tersebut turun sebesar 3,42% per tahun, sementara produksi gas turun sekitar 1,72% per tahun.

Komaidi Notonegoro Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan, penyempurnaan kebijakan fiskal hulu migas menjadi kunci utama untuk dapat mencapai target produksi migas nasional yang sebagian besar telah berada pada kondisi mature. 

Perbaikan kebijakan fiskal menjadi faktor penentu utama untuk meningkatkan investasi hulu migas nasional. Laporan IHS Markit (S&P Global) pada Juni 2025 mencatat bahwa overall attractiveness iklim investasi hulu migas Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 14 negara di Asia Pasifik. 

Dari empat indikator penilaian, yaitu legal & contractual, fiscal systems, oil and gas risk, serta activity & success, Indonesia tercatat memperoleh rating rendah pada aspek fiscal systems (5,11) dan legal & contractual (5,34). 

Sementara itu, dua indikator lainnya yaitu oil and gas risk dan activity & success mendapatkan rating masing-masing sebesar 5,53 dan 6,03. 

Kata dia, munculnya permasalahan pada aspek fiskal di sektor hulu migas nasional akibat hilangnya elemen fundamental dari regulatory framework pada sektor hulu migas yaitu penerapan prinsip assume and discharge.  
Sebagai landasan hukum utama dalam kegiatan hulu migas, Undang – Undang Migas No.22/2001 tidak lagi menerapkan asas lex specialis (assume and discharge). 

“Melalui Pasal 31, UU Migas No.22/2001 menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan Undang – Undang Perpajakan yang berlaku,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (4/12).

ReforMiner menilai perlu dilakukan penyempurnaan regulasi, khususnya pada aspek fiskal, agar kembali selaras dengan konsep Production Sharing Contract (PSC) dan dilakukan secara menyeluruh, baik pada level praktis maupun pada aspek-aspek fundamental.

Pada tataran praktikal, perbaikan dapat dilakukan melalui penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Cost Recovery, yang mencakup pengembalian prinsip assume & discharge untuk menjamin kepastian atas pajak tidak langsung; revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017 dengan menyederhanakan proses pengajuan insentif perpajakan tanpa persyaratan keekonomian yang berlapis; serta penegasan ketentuan fiskal terkait PBB, PPN, dan PPNBM melalui regulasi yang lebih konsisten dan otomatis. Penyusunan pedoman insentif berbasis parameter objektif (marginal field, frontier, mature field) juga diperlukan.

Penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Gross Split juga diperlukan diantara melalui revisi PP 53/2017 dengan memperluas pembebasan pajak tidak langsung hingga tahap eksploitasi; pemberlakuan mekanisme pembebasan otomatis, khususnya untuk PPN/PPNBM; penyediaan fasilitas perpajakan tanpa persyaratan surat keterangan fasilitas perpajakan (SKFP); serta pengurangan PBB 100% untuk seluruh tahapan operasi secara otomatis.

Menurutnya, perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme transisi fiskal terkait perubahan skema kontrak dan pengelolaan Tax Loss Carry Forward (TLCF), dengan memastikan kompensasi kerugian tetap berlaku dalam skema baru; pemberlakuan surut; penyediaan formula transisi untuk mencegah lonjakan beban pajak dan menghindari peningkatan Direct Tax Loss (DTL); serta penegasan bahwa biaya komitmen pasti (K3P) dapat diakui kembali sebagai biaya operasi dalam skema Cost Recovery.

Komaidi menjelaskan, dalam tataran fundamental, penyelesaian segera atas proses revisi Undang-Undang Migas yang ada menjadi kebutuhan mendesak. Dua prinsip utama yaitu assume and discharge dan lex specialis, perlu ditegaskan kembali sebagai landasan fiskal dalam pengusahaan PSC.

Prinsip assume and discharge (A/D) menetapkan bahwa kontraktor hanya menanggung pajak langsung, sementara pajak tidak langsung dibebaskan dan ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian, porsi bagi hasil antara negara dan kontraktor merupakan penerimaan bersih karena seluruh komponen pajak telah diperhitungkan melalui mekanisme ini. 
Penerapan asas lex specialis diperlukan untuk menegaskan bahwa ketentuan perpajakan hulu migas mengikuti ketentuan UU Migas secara khusus. Penerapan kedua asas ini di dalam sistem perpajakan hulu migas akan memberikan kepastian hukum lebih baik di dalam aspek fiskal pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (PSC).

Brasil dan Malaysia merupakan negara yang berhasil melakukan reformasi fiskal untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan produksi migas, khususnya pada lapangan-lapangan yang telah memasuki fase mature. 
Brasil, misalnya, menerapkan sejumlah insentif seperti penurunan royalti hingga 5% untuk lapangan mature, percepatan depresiasi, tax deductibility untuk proyek EOR, serta mekanisme rebid untuk lapangan mature. 

“Kebijakan tersebut mendorong Brasil menjadi salah satu dari lima produsen migas terbesar dunia pada 2023, dengan pertumbuhan produksi minyak rata-rata 3,8% per tahun selama 2013–2023,” terang dia.
Malaysia juga termasuk negara yang berhasil menjaga tingkat produksi minyaknya di atas 500 ribu barel per hari sejak tahun 2000 lalu. 

Selama dua dekade terakhir, Kementerian Energi Malaysia terpantau terus melakukan inovasi melalui reformasi kebijakan untuk meningkatkan investasi dan produksi migasnya. Sejak 2008, Malaysia menerapkan sistem PSC yang lebih beragam dan disesuaikan dengan karakteristik setiap lapangan. 

Untuk lapangan mature, Pemerintah Malaysia menyediakan beberapa jenis kontrak khusus seperti skema Risk Service Contracts (RSC) yang menawarkan insentif berupa pembebasan dan pengurangan tarif pajak. Untuk lapangan mature dengan sumber daya kurang dari 30 juta barel, Malaysia menerapkan PSC Late Life Assets (LLA), yang memungkinkan biddable item untuk porsi kontraktor serta memberikan kepastian pengembalian investasi melalui persentase hasil produksi yang tetap. Pada lapangan berukuran kecil—kurang dari 15 juta barel minyak atau 200 BSCF gas—diterapkan PSC Small Field Assets (SFA), yang juga menggunakan mekanisme bidding untuk menentukan bagian negara dan kontraktor.

Belajar dari sejumlah negara, termasuk Brasil dan Malaysia, Komaidi menyatakan, penyempurnaan kebijakan fiskal terutama melalui pemberian insentif fiskal menjadi kunci dalam meningkatkan atau bahkan sekadar untuk dapat mempertahankan tingkat produksi migas pada lapangan migas mature field. 

Untuk dapat mempertahankan produksi migas pada mature field yang telah mengalami penurunan keekonomian seringkali pilihannya hanya dengan memberikan insentif fiskal agar keekonomian lapangan migas yang diusahakan dapat memenuhi batas minimal toleransi bisnis terpenuhi atau tidak ada produksi lagi.

Selanjutnya: Menteri LH: Hujan 9,7 Miliar Kubik Picu Banjir Aceh 2025

Menarik Dibaca: Desember Makin Seru Pakai Promo Shihlin Celebites, 4 Paket Favorit Mulai Rp 42.000-an

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×