kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Genjot pemanfataan panas bumi, Pertamina bakal gandakan kapasitas terpasang ke 1,3 GW


Rabu, 21 Oktober 2020 / 17:07 WIB
Genjot pemanfataan panas bumi, Pertamina bakal gandakan kapasitas terpasang ke 1,3 GW
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE)


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) terus menggenjot pemanfaatan panas bumi guna mendorong transisi energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Dalam lima tahun ke depan, Pertamina bakal menggandakan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) dari yang ada sekarang.

Senior Vice President (SVP) Strategy & Investment Pertamina Daniel S. Purba mengatakan, saat ini ada sekitar 670 Megawatt (MW) kapasitas terpasang PLTP yang dioperasikan Pertamina. Daniel menyebut, dalam lima tahun ke depan kapasitas terpasang itu ditargetkan meningkat menjadi 1.300-an MW atau setara dengan 1,3 Gigawatt (GW).

"Sekarang Pertamina kapasitas terpasangnya 670-an MW. Kami punya rencana untuk melipatgandakan menjadi 1,3 GW dalam 5 tahun. Dari sisi cadangan memang sangat betul, kami punya potensi yang cukup besar," ujar Daniel dalam webinar yang digelar Rabu (21/10).

Baca Juga: Penggunaan BBM Ron rendah bikin mesin kendaraan tak optimal

Pengembangan panas bumi Pertamina dilakukan melalui anak usahanya, yakni Pertamina Geothermal Energy (PGE). Lebih rinci, Corporate Secretary PGE Mindaryoko menerangkan, saat ini PGE mengelola 14 Wilayah Kerja Panas bumi (WKP) dengan total kapasitas terpasang sebesar 672 MW yang dioperasikan sendiri (own operation). 

672 MW itu tersebar di PLTP Kamojang di Jawa Barat sebesar 235 MW, Lahendong di Sulawesi Utara (120 MW), Ulubelu di Lampung (220 MW), Sibayak di Sumatera Utara (12 MW), Karaha di Jawa Barat (30 MW) dan Lumut Balai di Sumatera Selatan (55 MW).

Selain kapasitas terpasang yang dioperasikan sendiri, PGE juga mempunyai 1.205 MW yang dijalankan secara joint operation contract (JOC). Terdiri dari 3 JOC bersama Star Energy di Lapangan Wayang Windu, Darajat dan Gunung Salak, serta 1 JOC yang dilaksanakan oleh Sarulla Operation di Lapangan Sarulla Sumatera Utara.

"Potensi panas bumi di Indonesia masih besar, sehingga PGE terus berkomitmen mengembangkan panas bumi sebagai salah satu energi baru terbarukan di Indonesia," kata Mindaryoko saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (21/10).

Mindaryoko melanjutkan, saat ini PGE menjalankan tiga proyek pengembangan panas bumi. Pertama, PLTP Lumut Balai unit 2 di Sumatera Selatan dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 55 MW. Kedua, PLTP Hululais unit 1&2 di Bengkulu dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 2 x 55 MW.

Ketiga, PLTP Sungai Penuh unit 1 di Kerinci-Jambi, dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 55 MW. "Selain pengembangan panas bumi, saat ini PGE juga sedang melakukan kegiatan eksplorasi untuk Wilayah Kerja Seulawah Agam di Aceh dan Gunung Lawu di Jawa tengah," sambung Mindaryoko.

Adapun, investasi yang akan dikucurkan PGE untuk pengembangan panas bumi hingga tahun 2026 diestimasikan mencapai US$ 2,68 miliar. "Untuk meningkatkan daya saing jangka panjang sampai tahun 2026, PGE akan fokus pada strategi untuk meningkatkan kapasitas PLTP sesuai target dan pengembangan direct use yang memiliki nilai komersial," terang Mindaryoko.

Baca Juga: PGN: Kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU mulai brdampak pada pemulihan industri

Meski sedang dalam kondisi pandemi Covid-19, Mindaryoko menyampaikan bahwa PGE tetap melaksanakan proses biding untuk memilih pelaksana EPCC total project untuk membangun PLTP Lumut Balai 2.

Terpisah, Daniel S. Purba mengungkapkan dari sisi teknis dan teknologi pengeboran panas bumi, Pertamina sudah bisa mengatasinya. Kendati begitu, masih ada sejumlah tantangan dalam pengembangan panas bumi.

Daniel menyoroti kebutuhan belanja modal alias capital expenditure (capex) yang masih sangat besar. Sebabnya, infrastruktur dasar belum disiapkan, sehingga pengembang harus mengucurkan investasi terlebih dulu. Padahal, medan pengeboran panas bumi sangat sulit sehingga pembangunan infrastruktur dasar memerlukan dana besar.

"Jadi bayangkan kita harus mengebor di Pegunungan, di Lembah, jalan ke sana belum ada. Kita harus memobilisasi peralatan pemboran, peralatan pembangkit listrik. Untuk itu kita harus siapkan jalan dengan kualitas yang mampu menampung beban berat," terang Daniel.

Dia berharap, pemerintah bisa memberikan insentif dalam penyediaan infrastruktur dasar. Selain itu, paket kebijakan yang sedang disiapkan pemerintah juga diharapkan bisa membuat return investasi menjadi semakin menarik.

Baca Juga: Pelaku UMKM terdampak Covid, Pertagas terus jaga asa Kelompok Tuli sampai Petani

Senada, Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi mengatakan, belum tersedianya infrastruktur dasar yang menyedot capex cukup besar bakal berdampak terhadap keekonomian proyek. Untuk itu, dia menilai perlu ada insentif dari pemerintah, agar biaya pengembangan yang mahal bisa terpangkas.

"Itu dibebankan kepada investor, sehingga biayanya cukup mahal. Salah satu solusinya, maka pemerintah harus memberikan fasilitas, termasuk membangun infarstruktur. Apakah itu pemerintah pusat atau daerah," pungkas Fahmy.

Selanjutnya: Kementerian ESDM pastikan mulai pengeboran panas bumi pada 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×