Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendesak Pemerintah RI mengevaluasi kinerja dan manajemen Krakatau Steel (KS) yang selama ini telah diberikan fasilitas oleh negara namun belum mampu menyiapkan seluruh kebutuhan bahan baku baja nasional.
Wakil Ketua Umum BPP GINSI Erwin Taufan mengatakan, KS sudah terlalu lama diberikan fasilitas oleh pemerintah seperti Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) namun kinerjanya tidak terlihat.
"Bisa dibilang sekelas KS belum maksimal terhadap bisnisnya sampai saat ini meskipun aktivitas importasinya sudah di support negara. Anggota GINSI merasakan kinerja manajemen BUMN tersebut tertutup komunikasinya. Biasanya kami hanya diberi kesempatan berhubungan dengan agen-agen yang ditunjuk oleh KS itu sendiri," kata Taufan dalam keterangan resminya, Senin (20/9).
Baca Juga: Harga saham KRAS stagnan pada sesi pertama perdagangan bursa Kamis (16/9)
Dia mengungkapkan, fasilitas kuota importasi yang diberikan negara terhadap KS belum tentu termonitor dengan baik, sehingga rawan praktik penyelewengan. Disisi lain, imbuhnya, industri lainnya seringkali mengalami kekurangan stok bahan baku baja dan tidak bisa di supply oleh KS.
"Para pelaku industri kadang untuk mendapatkan stok bahan baku dari KS susah, kita disuruh menunggu sampai kapan waktunya tidak jelas. Apalagi harganya juga belum tentu fairnes, ya kita pada akhirnya pilih melakukan importasi sendiri," ucap Taufan.
Dia menjelaskan, KS sejak awal didirikan agar Indonesia menjadi berdaulat di baja untuk kebutuhan baja disemua sektor dari pertahanan hingga rumah tangga. Namun, kenyataan jauh dari harapkan.
KS yang diharapkan menjadi supplier bahan baku baja nasional nyatanya sekarang hanya memproses bahan baku baja impor dan bukan menghasilkan bahan baku baja untuk substitusi impor, malah masuk ke segmen baja hilir yang akan mengimpit IKM baja nasional.
Taufan menambahkan, industri sektor baja sampai saat ini mengalami kekurangan dan kesulitan memperoleh bahan baku. Bahkan cenderung terjadi monopoli karena anggota GINSI tidak bisa langsung membeli ke KS tetapi harus melalui distributor/mitranya yang selisih harganya justru lebih mahal. Sehingga industri-industri kecil yang memerlukan bahan baku baja banyak memilih melakukan importasi sendiri.
Sebelumnya, pengamat kebijakan publik Fernando Emas menilain, persoalan impor baja ini adalah bentuk kegagalan KS yang tidak mampu menyediakan bahan baku baja di dalam negeri, walaupun investasi yang ditanam di BUMN ini sudah triliunan rupiah.
Menurut Fernando, proyek PT Meratus Jaya Iron and Steel, anak perusahaan KS yang ada di Tanah Bumbu Kalimantan Selatan yang sudah menyerap dana negara Rp 2 triliunan seharusnya bisa menutup defisit impor baja nasional.
Baca Juga: Permintaan meningkat, beberapa emiten baja memasang target optimistis di tahun ini
Padahal jika terealisasi, pabrik yang kini mangkrak tersebut dapat menghasilkan slab, billet, dan bloom dari pengolahan biji besi. Saat ini impor slab, billet, dan bloom nasional mencapai 3 juta ton yang diimpor oleh KS dan Anggota IISIA lainnya dengan nilai miliaran dollar per tahunnya. Slab, billet, dan bloom merupakan bahan baku utama industri baja dan semuanya belum dapat diproduksi di dalam negeri.
Menurut Fernando juga, KS tidak mampu menghasilkan produk-produk baja engineering steel yang dibutuhkan sebagai bahan baku produk-produk bernilai tambah tinggi seperti otomotif, permesinan, pertahanan, penerbangan, pengeboran minyak dan peralatan-peralatan khusus.
Industri-industri tersebut tidak akan berkembang secara maksimal selama bahan baku bajanya tidak dapat dipasok dari dalam negeri.
Alih-alih berusaha untuk melakukan diversifikasi produk, KS justru melakukan ekspansi ke sektor konstruksi yang merupakan sektor hilir. "Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan iklim usaha yang tidak sehat pada sektor hilir," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News