Reporter: Arfyana Citra Rahayu, Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Astra International Tbk (ASII) bersiap melakukan ekspansi bisnis yang mengarah pada ekonomi hijau secara jangka panjang. Hal ini terangkum dalam Astra 2030 Sustainability Aspirations.
Berdasarkan Fact Sheet yang diterima Kontan, Astra 2030 Sustainability Aspirations diluncurkan guna memandu perjalanan Grup Astra untuk menjadi perusahaan yang lebih berkelanjutan pada tahun 2030 dan seterusnya.
Terdapat beberapa inisiatif unggulan yang akan diimplementasikan Grup Astra untuk mencapai Astra 2030 Sustainability. Poin yang menarik adalah Astra akan melakukan investasi pada ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dan fokus pada diversifikasi ke pertambangan mineral non-batubara.
Lini bisnis otomotif memegang peranan penting bagi Astra. Toyota yang menjadi bagian dari Grup Astra sudah menyatakan akan mulai memproduksi mobil hibrida pada tahun ini di Indonesia. Toyota sudah menyiapkan fasilitas produksi hingga sumber daya manusia untuk mendukung proses produksi mobil hibrida tersebut.
Baca Juga: Astra International (ASII) Anggarkan Capex Hingga Rp 20 Triliun di Tahun 2022
“Kesiapan SDM, rantai pasok, dan industri pendukung lainnya penting dalam proses produksi kendaraan elektrifikasi,” ungkap Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azzam, kemarin (6/6).
Melalui Toyota Astra Motor (TAM), Astra telah menjual berbagai macam mobil berbasis elektrifikasi. Di antaranya, Prius Hybrid, Prius Plug-in Hybrid dan C-HR Hybrid, Corolla Cross Hybrid, Corolla Altis Hybrid, Camry Hybrid, Lexus LS Hybrid, Lexus E5 Hybrid, Lexus UX Hybrid, dan Lexus UX 300e. Toyota pun telah menjual mobil hibrida dan listrik tersebut sebanyak 5.542 unit di periode 2009-2021.
Adapun inisiatif Astra untuk diversifikasi di sektor pertambangan sebenarnya sudah terlihat semenjak anak usahanya, PT United Tractors Tbk (UNTR) mengakuisisi tambang emas Martabe di Sumatra Utara yang sebelumnya dimiliki oleh PT Agincourt Resources pada 2018 silam. Akuisisi tersebut menelan biaya transaksi sekitar US$ 1 miliar.
UNTR sendiri saat ini masih memiliki lini bisnis tambang batubara melalui PT Tuah Turangga Agung dan kontraktor penambangan melalui PT Pamapersada Nusantara (PAMA).
Selain itu, UNTR juga sudah mulai mengembangkan bisnis energi terbarukan melalui pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Kalipelus berkapasitas 0,5 MW di Jawa Tengah. UNTR juga sedang membangun PLTM Besai Kemu di Lampung berkapasitas 7 MW yang akan beroperasi pada awal 2023.
Baca Juga: Kempit Saham HEAL, Astra International (ASII) Gali Potensi di Sektor Kesehatan
Berjalan paralel, UNTR melakukan studi dan tinjauan untuk pengembangan energi terbarukan lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), floating solar PV, panas bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Waste to Energy.
Meski tidak disebut besaran investasinya, Sekretaris Perusahaan United Tractors Sara Loebis bilang, pengembangan energi terbarukan dilakukan UNTR untuk mendukung bisnis yang berkelanjutan dan mendukung target dekarbonisasi dari pemerintah. “UNTR terbuka untuk membangun pembangkit EBT di daerah manapun,” imbuh dia, Selasa (7/6).
Pengamat Pasar Modal dan Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menilai, langkah ekspansi Grup Astra untuk menjadi perusahaan yang berkelanjutan dan berorientasi pada ekonomi hijau sejalan dengan grup-grup perusahaan besar lainnya yang sudah melakukan ekspansi serupa. Tentu saja ekspansi yang dilakukan Astra dilakukan secara bertahap tanpa mengesampingkan bisnis yang sudah mereka jalani selama ini.
Sebagai contoh, Teguh menyebut, Astra masih bisa meraih cuan berlimpah berkat kenaikan harga batubara yang bisnisnya dijalankan oleh Tuah Turangga Agung. Tetapi, hasil keuntungan tersebut tidak digunakan untuk keperluan tambang batubara lagi, melainkan diinvestasikan ke tambang mineral non batubara, atau bahkan ke energi terbarukan.
“Jadi, cuan yang telah didapat justru bisa dipakai Astra untuk mengurangi eksposur batubara,” ungkap dia, Selasa (7/6).
Begitu pula dengan bisnis otomotif. Astra masih bisa meraih banyak pendapatan dan laba dari penjualan berbagai merek seperti Toyota, Daihatsu, Isuzu, Lexus, hingga kendaraan komersial seperti UD Trucks. Cuan yang diperoleh Astra juga akan diinvestasikan untuk pengembangan industri kendaraan listrik.
Baca Juga: Ini Alasan Astra International (ASII) Kerek Capex Tahun 2022
Teguh pun menganggap, bukan perkara mudah bagi Grup Astra untuk ikut serta mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Pasalnya, populasi mobil dan motor listrik di Indonesia memang masih sangat rendah. Harganya pun belum terjangkau bagi mayoritas masyarakat. Belum lagi, jumlah infrastruktur penunjang seperti charging station belum sebanyak pom bensin untuk kendaraan konvensional.
“Investasi Astra di sektor kendaraan listrik bakal dobel, yaitu untuk produksi kendaraan dan juga infrastruktur penunjangnya,” terangnya.
Lantas, hal ini memperlihatkan bahwa progres transisi Grup Astra baik terkait diversifikasi di bidang pertambangan maupun otomotif akan berjalan pelan-pelan dengan tujuan jangka panjang, Investasi yang dikeluarkan Astra untuk mewujudkan inisiatif berkelanjutan terebut tentu sangat besar.
Dari situ, investor yang memiliki atau hendak membeli saham Astra perlu bersabar dan memperhatikan faktor tersebut. Sebab, bukan tidak mungkin kinerja Astra bisa tertekan dan mengalami kerugian secara jangka pendek akibat investasi jor-joran yang dilakukannya.
“Tapi potensi kerugian tersebut tidak signifikan karena Astra tetap bisa mengoptimalkan bisnis yang sudah ada sembari melalui proses transisi bisnis,” tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News