Reporter: Handoyo | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Semakin meluasnya peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi menyebabkan kemarahan para pelaku industri gula berbasis tebu. Soalnya, harga gula rafinasi jauh lebih murah, sehingga mengalahkan penjualan gula tebu. Tak ayal, ribuan massa dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berunjuk rasa ke Kementerian Perdagangan (Kemdag) dan Istana Negara, Rabu (14/12).
Hasil investigasi APTRI mencatat, peredaran gula rafinasi sangat banyak di Indonesia bagian timur. Itu antara lain di Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Pulau Kalimantan. Kemudian, gula rafinasi juga mendominasi pasar konsumsi di Bali seperti di Denpasar, Tabanan, dan Klungkung.
Pedagang menjual gula rafinasi dalam kemasan seharga sekitar Rp 10.000 per kilogram (kg). APTRI juga menjumpai di gudang penjual terdapat gula rafinasi berukuran 50 kg bermerek Bola Manis produksi PT Makassar Tenne. "Masalah ini terjadi karena kebijakan pemerintah yang kacau," ujar Soemitro Samadikoen, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), saat unjuk rasa kemarin.
Terutama soal kebijakan distribusi gula rafinasi yang tertuang dalam Surat Keputuran Menteri Perdagangan Nomor 111 Tahun 2009. Surat itu mengatur, peredaran gula rafinasi dilakukan distributor. Selain itu, aturan itu juga mengizinkan penjualan 25% produksi gula rafinasi untuk pasar industri kecil dan rumah tangga.
Kondisi ini menyulitkan gula tebu masuk ke pasar konsumsi. Apalagi, harga gula tebu lebih mahal, yakni di atas Rp 11.000 per kg.
"Di Indonesia bagian timur, gula rafinasi mendominasi pasar konsumsi," tandas Soemitro. Oleh karena itu, APTRI meminta pemerintah menjatuhkan sanksi dan mencabut izin impor PT Makassar Tene karena produknya masuk ke pasar konsumsi.
APTRI juga meminta pemerintah membatalkan rencana impor gula sebanyak 500.000 ton tahun depan. Soalnya, jumlah gula pada tahun ini sudah melebihi kebutuhan.
Berdasarkan data APTRI, jumlah produksi gula tahun ini sebesar 2,15 juta ton. Namun, di lapangan jumlah itu meningkat menjadi 3,495 juta ton karena adanya selundupan di wilayah perbatasan. Sementara kebutuhan riil hanya 2,7 juta ton.
Pengunjuk rasa juga menuntut pemerintah tidak mengeluarkan izin pabrik gula baru agar gula rafinasi tidak semakin banyak di pasaran. Selain itu, APTRI meminta pemerintah segera mengumumkan hasil audit gula dan perusahaan-perusahaan yang melanggar sistem distribusi dan pemasaran.
Keinginan gubernur
Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, mengakui, banyak gula rafinasi di pasar konsumen rumah tangga. "Hal ini karena keinginan dari gubernur di masing-masing daerah itu," ujar Bayu.
Alasannya, gula rafinasi itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Soalnya, ketersediaan gula tebu di daerah itu terbatas. Gula tebu yang merupakan hasil produksi di pulau Jawa dan Sumatera, tidak sampai ke wilayah Indonesia timur.
Sedang terkait rencana impor gula, Bayu memastikan, hal itu belum menjadi keputusan. Memang, produksi tahun ini cukup bagus, bisa mencapai 2,3 juta ton. Dengan jumlah itu, ia menghitung sisa stok gula pada akhir tahun nanti sebesar 744.000 ton.
Padahal, konsumsi gula per bulan mencapai 220.000 ton. Sementara, musim giling baru datang pada Juni 2012. Artinya, jumlah kebutuhan gula nasional sebesar 1,1 juta ton untuk periode Januari-Mei 2012. "Stok tidak mencukupi kebutuhan. Tapi kami akan lihat dulu, apakah akan impor atau tidak," papar Bayu.
Sebelumnya, Andre Vincent Wenas, Direktur PT Makassar Tene, menegaskan, hanya menjual gula rafinasi ke industri. Menurutnya, ada oknum yang sengaja menjual gula rafinasi ke pasar rumah tangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News