Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina |
JAKARTA. Kondisi industri pengolahan dan pengalengan ikan tuna dalam negeri dalam 5 tahun terakhir kian terjepit. Para pelaku industri itu mengeluhkan banyaknya hambatan yang menghadang kegiatan bisnisnya, seperti ketersediaan bahan baku, minimnya kredit perbankan dan besarnya biaya transportasi dan logistik. Imbasnya, perkembangan industri ini berjalan mundur.
Hendri Sutandinata, Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki), mengatakan meski produksi tuna Indonesia lumayan besar, nyatanya industri pengalengan tuna tetap kesulitan mendapatkan bahan baku. Kondisi ini membuat utilisasi pengalengan tuna hanya terpenuhi separuhnya saja dari total kapasitas terpasang. Pada tahun 2010 misalnya, industri pengalengan tuna hanya mampu menggarap 150.000 ton dari kapasitas terpasang yang bisa mencapai 300.000 ton.
Para penangkap tuna disinyalir lebih memilih mengekspor tuna dalam bentuk segar ke negara lain seperti Filipina dan Thailand ketimbang menjualnya ke pengusaha lokal. Mereka melakukan itu karena sudah terikat dengan jaringan perdagangan tuna internasional. Hendri menyayangkan hal itu karena tuna-tuna yang diekspor ke Filipina dan Thailand itu digunakan untuk bahan baku pengalengan ikan di sana. "Kita justru memberi bahan baku industri di sana," keluhnya, di Jakarta, Rabu (25/5).
Kondisi itu diperparah dengan banyaknya penyelundupan tuna ke luar negeri. Hendri menduga, banyak tuna-tuna segar asal Indonesia yang diselundupkan melalui beberapa daerah seperti perairan Kalimantan. Imbasnya, jumlah tuna segar yang menjadi bahan baku pengalengan ikan dalam negeri kian terbatas.
Hambatan lain yang menghadang pengolahan tuna adalah minimnya kredit perbankan. Para pelaku pengalengan ikan kesulitan mendapatkan kucuran dana segar untuk memperluas kegiatan bisnisnya. Hendri mensinyalir, pihak perbankan khawatir dengan kelangsungan bisnis pengalengan tuna akibat bahan baku yang minim. "Mereka khawatir kita bakal berhenti karena kekurangan bahan baku," tutur Hendri.
Masalah transportasi dan logistik juga turut menghambat industri pengolahan tuna. Hendri bilang, biaya pengiriman tuna dari Sorong, Papua ke Surabaya bisa mencapai Rp 25 juta per kontainer. Biaya ini menyamai biaya pengiriman tuna dari Surabaya ke Eropa.
Derasnya hambatan yang menghadang industri pengolahan tuna membuat beberapa pabrik terpaksa menutup operasinya. Hendri bilang, 5 tahun lalu masih ada sekitar 15 perusahaan yang mengolah tuna. Namun, per tahun 2010 lalu, jumlahnya mengerucut menjadi 12 perusahaan saja. "Masalahnya, dari jumlah itu, yang aktif beroperasi hanya 8 perusahaan saja," kata Hendri.
Hendri bilang, 8 perusahaan yang masih aktif itu pun masih menyisakan keprihatinan. Menurutnya, 5 perusahaan pengolahan tuna kini sudah dimiliki investor asing seperti dari Jepang dan Filipina. Para pemilik lokal terdahulu tidak kuat menanggung kerugian sehingga mereka menjualnya kepada investor asing.
Sementara itu 3 perusahaan lainnya memang dimiliki pengusaha lokal. Namun, perusahaan itu tidak murni mengolah tuna. Mereka mengolah komoditas lain seperti udang dan ikan-ikan lainnya guna menutupi pengolahan tuna yang kian mandek. "Saat pasokan tuna jelek, mereka menutupinya dengan mengolah komoditas lain," ungkap Hendri.
Victor Nikijuluw, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengakui industri pengolahan tuna dalam negeri belum berkembang. Untuk itu, pemerintah akan terus berupaya untuk memacu perkembangan industri pengolahan tuna. Pada tanggal 25-26 Mei ini misalnya, Indonesia bersama 9 negara ASEAN lainnya mengadakan pertemuan kelompok kerja yang bakal membahas industrialisasi tuna. Dengan pertemuan itu, diharapkan ekspor tuna dari Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya tidak hanya dalam bentuk tuna segar saja tapi sudah menjadi produk olahan. "Dengan mengekspor produk olahan, kita bakal mendapatkan untung yang lebih besar," tutur Victor.
Informasi saja, harga tuna sirip kuning (yellow fin) hasil olahan bisa mencapai US$ 7.800 per ton. Padahal, dalam kondisi segar, harganya hanya US$ 1.100 per ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













