Reporter: Amailia Putri Hasniawati |
JAKARTA. Asosiasi Petani Singkong Indonesia (Aspesindo) melihat kemitraan yang berjalan antara investor dan petani singkong selama ini tidak seperti yang diharapkan.
"Selama ini petani hanya menggarap lahan. Sehingga tidak punya posisi tawar atas harga singkong," kata Sekretaris Asosiasi Petani Singkong Indonesia (Aspesindo) Romi Irawan. Hal ini terjadi di Lampung dan Banten. Di daerah tersebut, investor asal Korea Selatan dan China sudah mengambil alih lahan petani.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab minimnya produksi singkong untuk bahan baku mocal. “Kemungkinan mereka mengirimkan singkong dalam bentuk chips untuk digunakan sebagai bahan dasar etanol dan kebutuhan industri lainnya,” tandas Romi.
Belum lagi ada investor-investor nakal yang tidak serius menggarap lahan yang ijinnya sudah mereka kantongi. Misalnya saja di Banten, ada 47 perusahaan besar yang punya izin menggarap 700.000 hektare (ha) lahan tidur bertanam singkong. "Tapi hanya 400 ha-1.000 ha yang dipakai. Sisanya dijadikan agunan,” kata Romi.
Karena itu, Romi menandaskan, pemerintah harus memperbaiki regulasi, sehingga hal tersebut tidak terjadi.
Sesungguhnya, pola kemitraan ini tengah diusahakan oleh pemerintah. Untuk meningkatkan produksi singkong, Kementerian Pertanian akan mengusahakan adanya kesetabilan pasar. Caranya, investor yang terjun ke sektor singkong harus bermitra dengan para petani. Jika tidak melakukannya, maka mereka tidak akan mendapatkan ijin penggunaan lahan.
Kemitraan yang dimaksud adalah, investor menyediakan lahan atau menggandeng petani yang sudah punya lahan untuk dijadikan mitra binaan. Investor harus menjamin akan membeli semua singkong yang digarap petani mitranya dengan harga keekonomian, yakni sekitar Rp 500-Rp 700 per kilogram (kg) untuk singkong basah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News