Reporter: Sofyan Nur Hidayat, Andri Indradie | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. BBM layak dipanjangkan menjadi “benar-benar membingungkan”. Dalam memutuskan harga bahan bakar minyak, pemerintah memang selalu maju mundur. Rencana menaikkan harga bensin, salah satu BBM bersubsidi menjadi Rp 6.500 per liter per Mei, kini, tak lagi pasti.
Terlepas dari sikap pemerintah yang maju mundur, industri mobil mulai bersiap menghadapi gelombang efek kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebagian besar pemain produsen mobil memprediksi, dampak harga BBM tidak akan awet lebih dari tiga bulan.
Tapi, siapa yang bisa memastikan? Lihat saja, angka penjualan mobil setelah pemerintah menaikkan harga BBM lebih dari 80% di tahun 2005. Tahun berikutnya penjualan mobil hanya tercatat 318.883 unit mobil atau anjlok 40,27% dari tahun sebelumnya. Penurunan penjualan mobil juga pernah terjadi selama beberapa bulan setelah kenaikan harga BBM pada tahun 2008.
Joko Trisanyoto, Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM), menuturkan, kenaikan harga BBM bukan satusatunya faktor yang wajib diantisipasi pebisnis otomotif. Mereka juga mencermati tren harga komoditas yang melandai, yang bisa berujung pada penurunan daya beli masyarakat. Situasi keamanan serta stabilitas politik juga diperhitungkan para pebisnis kendaraan bermotor. “Kurangnya kenyamanan dalam keamanan dan politik, bisa menahan masyarakat untuk membeli sesuatu,” tutur Joko.
Dari berbagai ancaman yang mengepung, ucap Joko, paling efektif memicu kemerosotan penjualan mobil adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dan laju infl asi. Joko mencontohkan, penjualan mobil pernah jatuh sekitar tahun 2006 karena kenaikan harga BBM yang ujung-ujungnya menciptakan inflasi tinggi serta jebloknya pertumbuhan ekonomi.
Tak heran, bila pengelola perusahaan otomotif kini mencermati dampak kenaikan harga BBM terhadap pertumbuhan ekonomi dan lonjakan infl asi. “Kalau cuma bensin naik dan tak ada dampak ke pertumbuhan ekonomi dan inflasi, saya kira efek ke pasar mobil tidak akan lama,” tutur Joko.
Beberapa pemain sudah menyiapkan strategi untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM. Namun, tidak satu pun pemain otomotif yang merevisi target penjualan. Menurut perkiraan Direktur Pemasaran
PT Astra Daihatsu Motor (ADM), Amelia Tjandra, kenaikan harga BBM memang berdampak terhadap penjualan mobil. Tetapi, dampak kenaikan harga BBM tahun ini diprediksi singkat. “Menurut hitungan
kami, mungkin cuma tiga bulan. Setelah itu normal kembali,” ujar Amelia.
Kebijakan tak jelas
Hartanto Sukmono, Direktur Marketing KIA Mobil Indonesia, menambahkan, kecemasan lain yang menggayuti industri mobil adalah kebijakan pemerintah yang tak tentu arah dan eksekusinya yang lambat. “Kami berharap tidak ada kebijakan yang menggantung terlalu lama. Contohnya, ya, soal harga bersubsidi ini,” ujar Hartanto.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto memperkirakan, pertumbuhan ekonomi di tahun ini serta kenaikan pendapatan per kapita bisa menyeimbangkan kenaikan harga BBM. “Kuartal 1 penjualan hampir 300.000 unit. Jika dikalikan empat kuartal jumlahnya 1,2 juta unit. Kalau apes, penjualan turun, 1,1 juta unit tetap tercapai,” kata Jongkie.
Tahun lalu, penjualan mobil mencapai 1,16 juta unit. Di Tahun ini, Gaikindo menargetkan, jumlah mobil yang terjual setidaknya sama dengan angka tahun lalu. Selama kuartal pertama tahun ini penjualan mobil 295.909 unit.
Pengamat otomotif Soehari Sargo menduga, dampak harga BBM tak akan besar ke pasar mobil. Tapi, penjualan tahun ini tetap bisa terpangkas hingga 100.000 unit.
Untuk menekan dampak kenaikan harga BBM, Soehari menyarankan pemerintah memberikan pemahaman bahwa subsidi BBM sebesar Rp 230 triliun akan digunakan untuk memperbaiki infrastruktur. Jadi, ujung-ujungnya akan menghemat penggunaan BBM pada kendaraan.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 31 - XVII, 2013 Otomotif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News