Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Edy Can
JAKARTA. Harga minyak kelapa sawit atawa crude palm oil (CPO) anjlok ke titik terakhir sepanjang Maret - September 2011. Harga CPO pengiriman Oktober 2011 di perdagangan internasional, di Bursa Malaysia tercatat hanya US$ 921,36 per metrik ton. Sebelumnya, CPO sempat menyentuh banderol tertinggi US$ 1.132,13 per metrik ton pada 3 Juni 2011. Walhasil, harga CPO di Bursa Indonesia pun ikut melorot ke US$ 0,94 per kilogram (kg).
Derom Bangun, Wakil Ketua Dewan Sawit Indonesia, mengatakan, sudah memperhitungkan penurunan harga itu. Menurutnya, harga CPO turun karena adanya faktor permintaan dan penawaran. "Pasokan naik karena produksi meningkat," kata Derom, Senin (26/9).
Hal ini senada dengan analisis Bloomberg bahwa cuaca bagus mendongkrak produksi CPO di Malaysia dan Indonesia. Di sisi lain, permintaan CPO melemah akibat perlambatan ekonomi global. Hasil survei Bloomberg terhadap sejumlah analis menyatakan, harga CPO akan jatuh ke level RM 2.800 (US$ 880) per metrik ton pada Desember mendatang. Dorab Mistry, Direktur Godrej International Ltd, menghitung, penurunan itu akan terus berlanjut selama lima - delapan pekan mendatang sehingga CPO menyentuh harga terendah.
Derom menambahkan, anjloknya harga CPO juga karena sentimen pasar. Ia mencontohkan, pada tanggal 6 Agustus 2011, tertulis artikel "Palm Oil Stocks at 19 months high" pada Business Times. "Itu menguntungkan pembeli," jelas Derom.
Derom tidak khawatir dengna penurunan ini. Soalnya, harga CPO bakal merangkak naik lagi pada Oktober karena produksi mulai berkurang seiring datangnya musim hujan.
Selanjutnya, menjelang tutup tahun, harga kembali meningkat. Bulan November harga CPO akan mencapai di atas US$ 1.100 atau sekitar RM 3.200 per metrik ton dan akhir tahun bisa US$ 1.150 per metrik ton. "Tapi dengan catatan, ekonomi global bisa membaik, sehingga permintaan CPO kembali meningkat," ucap Derom.
Evaluasi BK
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengeluhkan kondisi ini. Soalnya, saat harga turun, pemerintah baru saja menaikkan bea keluar (BK) CPO. Oktober nanti, BK CPO sebesar 16,5%, naik 1,5% dari September hanya 15%. "Pengusaha terbebani, karena saat harga turun harus menanggung biaya yang lebih besar," tandas Fadhil.
Fadhil bilang, permasalahan ini menyebabkan daya saing produk CPO dan turunannya melemah. Fahdil khawatir, pangsa pasar CPO Indonesia berkurang. Soalnya, negara lain akan memanfaatkan momentum ini untuk menjual CPO ke negara-negara yang selama ini mendapat pasokan dari Indonesia.
Petani sawit pun ikut terkena getahnya. Soalnya, pengusaha sawit akan menurunkan pembelian harga di tingkat petani. "Apalagi, bila BK CPO naik, harga pasti turun lagi," jelas Fadhil.
Menurut Fadhil, hal itu merugikan secara jangka panjang. Petani tidak memiliki insentif untuk berinvestasi di perkebunannya. Padahal, investasi itu penting untuk peremajaan dan pemeliharaan kebun secara optimal. "Sudah seharusnya, pemerintah mengevaluasi besaran BK dan sistem perhitungannya," ucap Fadhil lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News