Reporter: Handoyo | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Menjelang akhir kuartal pertama tahun ini, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sudah mulai terkerek naik. Namun, bagi perusahaan produsen biodiesel yang mengikuti tender yang dilakukan oleh Pertamina tentu hal tersebut tidak mengembirakan.
Mengutip Bloomberg, harga CPO terus menunjukkan peningkatan signifikan dalam tiga bulan terakhir. Di Bursa Malaysia Derivatives, harga CPO untuk pengiriman bulan Maret ini tercatat mencapai US$ 884,46 per ton, atau meningkat 15$ bila dibandingkan Januari yang berada di harga US$ 770,03 per ton.
Dengan menggunakan sistem harga kontrak penjualan biodiesel ke Pertamina yang cukup panjang yakni satu hingga dua tahun mendatang, perusahaan produsen biodiesel harus dihadapkan dengan risiko kerugian.
Bila mengacu dengan sistem harga yang diterapkan saat ini yakni MOPS (Mean of Platts Singapore) minus alpha (diskon terhadap harga MOPS), para pengusaha sangat dikhawatirkan dengan tren melonjaknya harga CPO dunia.
Catatan saja, semakin tinggi harga CPO maka semakin sedikit pula margin keuntungan yang diterima produsen biodiesel. Kondisi ini disebabkan karena harga jual biodiesel yang ditawarkan oleh para produsen mengacu pada harga minyak bumi dan harga CPO disaat pelaksanaan tender.
Immanuel Sutarto Wakil Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mengatakan, bagi perusahaan produsen biodiesel yang telah memenangkan tender untuk periode pertama dan kedua dari Pertamina kenaikan harga CPO ini sudah menjadi resiko yang harus dihadapi. "Ya itu resiko bisnis sesuai kontraknya," kata Immanuel, akhir pekan lalu.
Kalangan pengusaha pun masih mengharap agar Pertamina dapat menetapkan harga yang adil dan tidak memberatkan. Immanuel bilang, sekema harga yang diminta dari para pengusaha adalah dengan formula harga FAME (Fatty Acid Metyl Alcohol), yaitu disesuaikan dengan harga CPO ditambah dengan biaya produksi sekitar US$ 150 per ton plus transportasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News