Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Sistem tata niaga gas industri yang memunculkan banyak perantara (trader kertas) saat ini sebaiknya dihapus karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal.
“Harusnya pemerintah yang mengatur dan menetapkan harga tersebut. Jangan biarkan pengelola gas yang mengatur, apalagi kalau yang berperan adalah trader kertas,” Marwan Batubara, pengamat kebijakan energi IRESS, Senin (5/10).
Lebih lanjut Marwan mengatakan, keberadaan trader kertas, antara lain membuat margin distribusi di hilir menjadi jauh lebih besar dibandingkan margin di hulu. Belum lagi ditambah biaya toll fee yang memang cukup besar. Dan ini, yang menurut Marwan harus dibenahi.
Dalam kondisi ini, Marwan menambahkan, bahwa sistem open access bisa menjadi pilihan dalam distribusi gas dalam negeri. Terutama, jika keberadaan para trader kertas bisa diatasi. Dalam hal ini, pemilik pipa bisa menyewakan pipa-pipa kepada BUMN lain untuk kemudian saling bersinergi. “Pemerintah bisa mengatur sehingga sesama BUMN saling mendukung,” kata Marwan.
Tentang mahalnya harga gas untuk industi juga dikeluhkan Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Achmad Widjaya. Menurut Widjaya, seharusnya pemerintah mengevaluasi harga gas yang saat ini terlampau mahal.
“Kalau harga di hulu saja sudah bisa diturunkan, mengapa di hilir tidak? Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan kajian agar harga bisa turun. Margin pemilik pipa juga harus dievaluasi,” kata Widjaya.
Harga gas untuk industri yang mencapai US$ 9-US$ 10 per MMBTU tentu saja membuat industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan kompetitor. Untuk itu, jangankan membandingkan dengan harga di luar negeri yang hanya US$ 3,7, membandingkan dengan kondisi 15 tahun lalu saja, sudah jelas bahwa harga gas seharusnya bisa jauh lebih murah.
“Bagi kami, industri pengguna gas, kondisi ini ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat dolar terus naik, kami masih harus membayar mahal gas,” katanya.
Di sisi lain, Widjaya juga menyesalkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk yang mengambil margin rata-rata US$ 4 per MMBTU atau di atas 40%. Margin tersebut, lanjutnya, jauh lebih besar daripada aturan toll fee yang ditetapkan oleh BPH Migas.
“PGN harusnya mengambil margin yang wajar, yakni gross profit 30%. Mengapa mereka mereka mematok begitu tinggi? Mengapa mereka tidak menjalankan aturan yang sudah ada?” kata Widjaya.
Dalam konteks ini, Widjaya berharap, seharusnya harga gas bisa diturunkan menjadi sekitar US$ 6 per MMBTU, termasuk toll fee. Dengan harga sebesar itu, meski masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, namun industri masih bisa bersaing dan menjalankan roda bisnisnya.
Fajar Budiono, Wakil Sekjen Industri Kimia Indonesia (FIKI) juga mengeluhkan harga gas yang sangat tinggi. Di tengah harga minyak dunia yang turun dan kurs rupiah yang terus melemah, seharusnya pemerintah mengevaluasi harga pokok dan harga distribusi sehingga tidak memberatkan.
“Selain harga pokok dari pemerintah yang US$ 5 per MMBTU, pemerintah juga harus mengevaluasi margin PGN. Apalagi, toll fee PGN sudah melebihi ketentuan yang dibuat oleh BPH Migas,” kata Fajar.
Fajar mengingatkan, pemerintah harus memperhatikan utiliti industri kimia. Apalagi industri kaca dan keramik, yang hampir seluruh raw materials merupakan impor dan dibeli dengan dolar AS. “Jika utiliti menurun, maka PPH dan PPN juga menurun, akan terjadi PHK besar-besaran. Pemerintah harus memperhatikan hal itu,” kata Fajar.
Sedangkan terhadap PGN, mestinya harus patuh terhadap aturan yang sudah ada. Jangan lupa pula, saat ini sudah banyak industri kimia yang beralih dari gas ke solar, karena dianggap lebih murah.
Sebagai perbandingan, untuk harga gas yang besarnya sekitar US$ 10,5, adalah setara dengan solar Rp 6.000per liter. Padahal, saat ini terdapat solar MFU yang harganya jauh lebih murah, yakni Rp 4.000 per liter. “Perusahaan pemilik pipa akan kehilangan pelanggan kalau mereka tidak segera menurunkan margin distribusinya,” kata Fajar.
Sementara Lukman Mahfoedz, mantan Presiden Indonesian Petroleum Assosiation (IPA) setuju bahwa para trader kertas harus diberantas. Menurut Mahfoedz, trader kertas sangat merugikan pemilik upstream, yakni pemilik konsesi gas. “Jadi, saya setuju bahwa trader kertas ini harus segera diberantas. Kalau yang merugikan kan memang harus diberantas,” katanya.
Mahfoedz menambahkan, para trader kertas muncul, karena perusahaan tidak bisa bekerja dengan baik. Antara lain, lanjutnya, karena perusahaan tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai. “Penyebabnya, karena tidak didukung financial capability yang cukup,” lanjut Mahfoedz.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News