Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Tahun ini, harga produk makanan dan minuman diprediksi bakal baik hingga 10%. Penyebabnya adalah biaya produksi produsen makanan dan minuman yang terus merambat naik.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Franky Sibarani mengatakan, pelaku industri makanan tahun ini harus menanggung beberapa faktor yang menjadi biang keladi biaya produksi terkerek naik. Antara lain: kenaikan upah buruh serta bahan baku.
"Biaya produksi industri makanan dan minuman naik sehingga hingga akhir tahun harga produk makanan dan minuman bisa naik hingga 10%," katanya kepada KONTAN, kemarin.
Seperti diketahui, upah minimum buruh di beberapa daerah sudah mengalami kenaikan. Sementara itu harga bahan baku utama yang menjadi bahan pokok industri makanan dan minuman seperti harga patokan pembelian gula juga diprediksi akan naik tahun ini sebesar 5% - 10%.
Harga belum naik
Tertundanya kenaikan BBM bersubsidi, menurut Franky, tidak terlalu berpengaruh besar terhadap industri makanan minuman. Menurut hitungan mereka, kenaikan harga BBM bersubsidi jika betul-betul jadi dinaikkan hanya akan menambah biaya produksi sebesar 2% saja. Itupun berasal dari pos distribusi.
Hal ini lantaran BBM industri sudah mengalami kenaikan sejak awal tahun ini. Bila sebelumnya harga BBM untuk industri dibandrol sebesar Rp 8.200 per liter, kini harga BBM industri ini sudah menjadi Rp 9.500 per liter. Makanya, menurut Franky, penyebab utama kenaikan harga makanan adalah dari kenaikan harga kemasan makanan dan minuman.
Kenaikan harga minyak dunia menjadi faktor pemicu harga kemasan ikut naik. Maklum, sebagian besar bahan baku kemasan makanan, seperti plastik juga masih impor. "Saya perkirakan harga kemasan juga bisa naik hingga 7% tahun ini," kata dia.
Meski diprediksi bakal mengalami kenaikan harga jual, menurut Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman, industri makanan justru bakal berusaha mati-matian untuk tidak mengerek harga jual produk mereka.
Maklum, persaingan bisnis industri kebutuhan pokok saat ini sangat sengit. Apalagi, industri ini juga kedatangan produk makanan impor yang berharga miring. " Sampai saat ini, kami masih bisa menahan kenaikan harga. Namun, bila kenaikannya sampai kenaikan harga sudah tidak bisa ditoleransi karena mendongkrak biaya produksi kami ," kata dia.
Hal ini diamini oleh Charlie Klamodarso, Managing Director PT Ultra Prima Abadi, salah satu anak usaha dari Orang Tua Group.
Dia bilang walau biaya operasional meningkat, namun Ultra Prima Abadi belum berencana untuk menaikan harga jual produk-produknya. "Kami masih menahan dulu kenaikan harga. Untuk menyiasati kenaikan biaya produksi, kami melakukan efisiensi produksi," tuturnya.
Sudhamek AWS, Presiden Direktur PT Garudafood Putra Putri Jaya sebelumnya juga mengakui bahwa kenaikan harga BBM subsidi dan tarif listrik bisa mendongkrak harga jual produk dari Garudafood.
Namun, Garudafood sudah mengantisipasi buntut dari kenaikan biaya produksi ini dengan menaikkan harga di akhir tahun lalu. "Jadi sudah kami antisipasi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News