Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan raksasa baja nirkarat atau stainless steel asal China, Tsingshan Holding Group menghentikan sementara produksinya di Indonesia berkaitan dengan turunnya harga nikel global dan permintaan nikel.
Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli mengatakan penurunan harga nikel berpengaruh pada penurunan harga stainless steel yang dijual. Sehingga Thingsan memutuskan untuk setidaknya menunda produksi.
"Ini karena masalah ekonomi. Harga nikel jatuh. Dia (Tsingshan) rugi, mungkin dia stop,” ujarnya ditemui di agenda ESG Forum 2025, Jakarta Senin (2/6).
Sebelumnya, pada awal 2025, menurut data S&P Global, harga nikel pada 2025 mencapai USD 15.078 per metrik ton, yang merupakan titik terendah sejak 2020.
Adapun, sepanjang 2024, harga rata-rata tercatat sebesar US$ 15.328 per metrik ton, turun 7,7% dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca Juga: Hilirisasi Filipina Kerek Harga Bijih Nikel
Melansir dari Trading economic, per hari ini Senin (02/06) harga nikel menyentuh angka US$ 15.389 per metrik ton, angka ini naik 0,06% dibandingkan harga per hari Jumat (31/05).
Meskipun kalau dibandingkan secara month to month (mom) harga ini masih turun 0,78% atau secara year to year (yoy) telah turun 20,63%.
Lebih jauh, Rizal menambahkan, bahwa penghentian produksi di smelter juga bisa menjadi pemicu adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Ketika produksi kurang atau dihentikan, maka akan berkurang karyawannya, bisa di PHK, bisa dirumahkan. Karena kalau tidak, beban operasional makin tinggi," ungkapnya.
Dia juga menjelasakan, khusus untuk pembuatan stainless steel dengan teknologi pemurnian Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) seperti yang dimiliki Tsingshan, membutuhkan pasokan nikel berkadar tinggi.
"Kalau smelter butuh kadar nikel yang relatif tinggi, rata-rata diatas 1,5%. Tapi cadangan kita kalau dihitung beberapa ahli hanya sisa 9-13 tahun daya tahannya, ini bukan waktu yang lama," kata dia.
Untuk memenuhi kebutuhan smelter, diperlukan tambahan pasokan bijih nikel baru, oleh karena itu masih banyak pemilik smelter yang memutuskan mengimpor bijih dari Filipina.
"Kalau yang besar, seperti Vale, Antam akan survive, karena arealnya luas, cadangan banyak, tapi (smelter) yang tidak terintegrasi langsung ini akan riskan," jelasnya.
Sebagai tambahan, berdasarkan informasi dari Bloomberg, Jumat (30/5), Tsingshan menghentikan beberapa lini produksi baja di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah mulai Mei 2025 ini.
Berdasarkan keterangan orang yang mengetahui masalah tersebut, langkah itu diambil demi menjadi harga baja tahan karat yang mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir pada April 2025.
Selain itu, kurangnya bahan baku juga menjadi salah sati pemicu penutupan pabrik pemurnian di kawasan Morowali itu.
Menurut Macquarie Group Ltd, Tsingshan Holding Group menyumbang hampir sepertiga dari produksi baja tahan karat dunia sepanjang 2024 lalu.
Macquarie juga mencatat dengan memanfaatkan dominasi Indonesia dalam produksi nikel, China dan Indonesia memproduksi 71% baja tahan karat dunia. Namun, perlambatan ekonomi China telah menekan permintaan, sementara ekspor dari kedua negara terancam oleh kebijakan tarif pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Baca Juga: Kementerian ESDM Pastikan PLTU Batubara Kapasitas 3,2 GW Bakal Beroperasi Tahun Ini
Selanjutnya: Kapan Etheria Restart Rilis? Cek Spesifikasi untuk Android, iOS dan PC
Menarik Dibaca: Bunga Deposito Bank DBS di Bulan Juni 2025, Tertinggi 5,00%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News