Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dinilai perlu mengendalikan produksi nikel untuk keseimbangan antara permintaan dan pasokan, di tengah penurunan harga nikel.
Sejumlah pelaku industri dan pengamat pertambangan menyoroti tekanan terhadap industri nikel nasional akibat penurunan harga nikel global. Penyebab utamanya adalah melemahnya sektor industri di Tiongkok, sebagai pasar utama ekspor nikel Indonesia.
Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno mengatakan, penurunan harga nikel global sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Minerba Kementerian Enegeri dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan dampak langsung dari kondisi tersebut.
“Ketergantungan yang tinggi terhadap satu negara tujuan ekspor membuat posisi Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (8/5).
Untuk itu, Djoko menilai pengendalian produksi nikel merupakan langkah strategis yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Ia menegaskan produksi yang berlebih di tengah permintaan yang lemah hanya akan memperparah tekanan harga dan merugikan sektor hulu.
Baca Juga: Lewat 3 Smelter HPAL, Merdeka Battery (MBMA) Targetkan Kerek Produksi Nikel MHP
Namun demikian, langkah pengendalian ini harus dibarengi dengan kebijakan hilirisasi yang konsisten, diversifikasi pasar ekspor, dan penguatan industri dalam negeri agar nilai tambah nikel dapat dimaksimalkan di dalam negeri.
Sementara itu, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah, juga menyoroti dominasi pasar Tiongkok dalam ekspor produk turunan nikel dari Indonesia.
“Tujuan ekspor produk turunan nikel dari Indonesia adalah negara-negara Asia Timur, utamanya didominasi Tiongkok, diikuti Jepang dan negara lainnya,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (8/5).
Arif menuturkan, Tiongkok adalah importir bahan baku terbesar untuk industri stainless steel dan turunannya. Meski begitu, Arif optimistis pemerintah memiliki rencana besar yang baik untuk memperbaiki kondisi industri nikel nasional saat ini dan ke depannya.
Ketua Indonesian Mining Institute Irwandy Arif, merinci sejumlah penyebab turunnya harga nikel dunia saat ini. Ia menyebut faktor-faktor seperti kondisi geopolitik global, perlambatan ekonomi dunia, perang dagang antara AS dan Tiongkok, penurunan permintaan pasar baja tahan karat, kelebihan pasokan, hingga produsen kendaraan listrik seperti BYD yang tidak menggunakan nikel dalam baterainya.
"Selain itu, penurunan indeks dolar AS (DXY) juga turut memengaruhi harga komoditas tersebut," jelasnya kepada Kontan, Kamis (8/5).
Irwandy menyampaikan pengendalian produksi perlu dilakukan dan dievaluasi untuk menjaga keseimbangan supply-demand. Ia mengungkapkan, produksi bijih nikel diperkirakan mencapai 250 juta ton pada 2025. Pemerintah dapat mengendalikan produksi melalui evaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Selain itu, Irwandy mengusulkan penyesuaian kebijakan royalti, diversifikasi pasar ekspor untuk produk antara seperti NPI, FeNi, Ni Matte, dan MHP, serta hilirisasi yang berkelanjutan untuk meningkatkan nilai tambah, baik ke arah produk baja maupun baterai. Ia juga menekankan pentingnya mengantisipasi dampak suku bunga terhadap harga nikel.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai sebagian besar produk olahan nikel dari Indonesia diekspor ke Tiongkok, dan sebagian besar smelter di dalam negeri juga didanai oleh investasi Tiongkok.
“Jika industri di China menurun, dampaknya akan langsung terjadi pada industri nikel di Indonesia,” kata Bisman kepada Kontan, Kamis (8/5).
Ia menambahkan, pemerintah sebenarnya telah melakukan pengendalian produksi melalui penetapan target produksi tahunan dan produksi masing-masing pelaku usaha dalam RKAB.
Namun, dengan kondisi saat ini, target tersebut perlu dievaluasi ulang. Selain itu, secara keekonomian, pelaku usaha biasanya akan menyesuaikan kapasitas produksi mereka dengan situasi pasar dan harga.
“Jadi sebenarnya produksi nikel bisa dikendalikan oleh pemerintah dan juga oleh masing-masing pelaku usaha,” pungkasnya.
Sebelumnya, diberitakan KONTAN, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno mengakui penurunan harga nikel tak lepas dari melemahnya industri di China. Ia menyebut, sebagian besar produk nikel Indonesia diekspor ke Negeri Tirai Bambu.
Untuk menstabilkan harga, Kementerian ESDM telah menyusun sejumlah strategi berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan para ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Tri menjelaskan strategi tersebut mencakup perencanaan produksi sesuai dengan kebutuhan nasional dan rencana ekspor, pelaksanaan studi kelayakan (feasibility study) dan analisis dampak lingkungan (amdal) dalam proses RKAB, evaluasi persetujuan produksi, serta penetapan harga acuan dan harga patokan seperti HBA, HMA, HPB, dan HPM sebagaimana tertuang dalam Kepmen ESDM Nomor 72 Tahun 2025. Kementerian ESDM juga melakukan pembinaan dan pengawasan agar kegiatan penambangan berjalan sesuai dengan prinsip good mining practice.
Baca Juga: Larangan Ekspor Nikel Filipina, Industri Smelter RI Terancam Kekurangan Bahan Baku
Selanjutnya: Sebulan Harga Emas Antam Naik 11,35 Persen, Hari Ini Menyusut (8 Mei 2025)
Menarik Dibaca: 5 Zodiak yang Akan Mengalami Perubahan Besar di Tahun 2025, Cancer Siap Jatuh Cinta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News