Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Sejak awal tahun 2015, harga rumput laut di tingkat petani melandai. Penurunan tersebut disebabkan pasar ekspor yang masih lesu sementara penyerapan dalam negeri masih kecil dan harga relatif lebih rendah.
Arman Arfah, Ketua Umum Asosiasi Petani dan Pengelola Rumput Laut Indonesia (ASSPERLI) mengatakan, produksi rumput laut terus meningkat dari tahun ke tahun.
sejak Januari 2015 lalu, harga rumput laut terus mengalami penurunan. Ia mengambil contoh harga rumput laut di tingkat petani saat ini jatuh menjadi Rp 8.000 - Rp 9.000 per kilogram (kg). Harga tersebut lebih rendah ketimbang rata-rata harga rumput laut dalam kondisi normal yang bertengger pada harga Rp 12.000 - Rp 13.000 per kg.
"Saat ini, permintaan ekspor rumput laut sangat sedikit, karena itu beralih ke pasar domestik yang harganya lebih rendah," ujar Arman kepada KONTAN, Senin (9/2).
Selama ini, lanjut Arman, Tiongkok merupakan tujuan ekspor terbesar rumput laut asal Indonesia atau sekitar 76,9%, disusul Filipina 6,69%, Cile 4,69%, Korea Selatan 2,44% dan Hong Kong 1,75%. Diperkirakan produksi rumput laut pada tahun 2014 mencapai 10,23 juta ton basah dan tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi rumput laut sebanyak 10,6 juta ton basah atau sektiar 100.000 ton kering.
Kondisi perekonomian Tiongkok yang terus melambat membuat permintaan terhadap produk rumput laut asal Indonesia berkurang. Petani rumput laut meminta agar pemerintah serius membenahi rantai tataniaga rumput laut sehingga penjualannya tetap stabil.
Ketua Komisi Rumput Laut Indonesia, Farid Ma'ruf juga mengeluhkan penurunan harga rumput laut. Ia bilang saat ini harga rumput laut mengalami penurunan di kisaran Rp 11.000 per kg. Padahal sebelumnya rata-rata harga rumput laut sekitar Rp 13.000 kg dan malahan pernah mencapai harga Rp 14.000 hingga Rp 15.000 per kg. Penurunan ini terjadi sejak Janauri 2015. "Penurunan harga ini sangat tergantung pada pembelinya, bila pembelinya sedikit maka harganya turun," terang Farid.
Rendahnya harga rumput laut asal Indoesia ini juga tidak semata-mata disebabkan rendahnya permintaan di pasar global tujuan ekspor seperti Tiongkok dan Filipina tapi juga karena kualitas industri dalam negeri yang belum maksimal.
Farid menilai produksi industri dalam negeri masih kalah bila bersaing dengan produksi rumput laut dari Tiongkok. "Padahal bahan bakunya, sama-sama dari Nusa Tenggara Timur (NTT), tapi harga produksi Tionkok lebih murah dan lebih berkualitas dari produksi Indonsia," imbuhnya.
Farid bilang, pemerintah harus mendorong terjadinya transfer teknologi dan penelitian yang berkesinambungan bagi industri rumput laut domestik. Tujuannya agar produksi rumput laut domestik bisa berkualitas dan harganya lebih rendah. Sebab produksi rumput laut Indonesia cukup besar bila dibandingkan dengan kemampuan industri rumput lauat dalam negeri dalam mengelolanya. Itulah sebabnya, pasar ekspor masih menjadi tujuan.
Di sisi lain, harga rumput laut di pasar ekspor lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di dalam negeri. Dengan demikian, petani rumput laut lebih memilih menjual produknya ke pasar ekspor ketimbang ke dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News