Reporter: Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Para pengusaha penggemukan sapi atau feedloter tengah pusing. Adalah kenaikan harga sapi bakalan asal Australia menjadi sebab. Naiknya permintaan atas sapi bakalan dan daging sapi ditengarai menjadi sebab kenaikan harga.
Saat ini, Australia membanderol sapi bakalan hidup dengan harga US$ 3,5 per kilogram (kg), padahal lazimnya feedloter membeli sapi bakalan dari Australia dengan harga normal sekitar US$ 2,8-US$ 3 per kg.
Situasi ini membuat feedloter harus menanggung beban pengeluaran yang lebih besar sehingga efeknya nanti akan menaikkan harga jual daging segar di pasar. Padahal, harga daging sapi sendiri pada sebulan terakhir dalam tren stabil dan cenderung melandai.
Jika pada awal tahun ini harga daging sapi rata-rata di pasar sekitar Rp 120.000 per kg, maka pada awal Februari, harganya sudah turun menjadi Rp 115.000 per kg.
Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Johny Liano mengatakan kenaikan harga beli sapi impor dari Australia ini menjadi antiklimaks dari tren harga daging sapi di pasaran saat ini. "Jadi feedloter bisa dikatakan merugi karena harga saat ini sedang turun sedangkan harus membeli sapi lagi dengan harga yang tinggi," ungkapnya kepada KONTAN, Senin (27/2).
Ia mengatakan, harga sapi bakalan Australia jika dikonversi ke nilai tukar rupiah saat ini berarti mencapai Rp 46.900 per kg (dengan kurs 1 US$ = Rp 13.400). Apalagi, harga ini masih ditambah dengan bea masuk 5% per kg, sehingga total harga sapi bakalan hidup menjadi Rp 49.245 per kg. "Masih ada biaya angkut hingga ke kandang yang juga mesti kami tanggung sehingga total di atas Rp 50.000 per kg," tambah Johny.
Tak pelak situasi ini membuat para feedloter kebingungan. Pasalnya, harga sapi bakalan impor ini menjadi lebih mahal dibanding harga sapi lokal hidup yang hanya Rp 47.000 per kg.
Pasok untuk Lebaran
Johny mengatakan, dalam kondisi seperti ini, semestinya harga daging sapi segar di pasaran berkisar Rp 120.000 per kg. Harga tersebut adalah harga ideal. Ia juga yakin harga tersebut disetujui peternak lokal.
Tak pelak, mahalnya harga sapi bakalan hidup ini berpotensi untuk membuat realisasi kuota impor tak maksimal. Sebagai gambaran, setiap tahun dari kebutuhan impor sapi bakalan sekitar 600.000 ekor-700.000 ekor, realisasinya hanya sekitar 360.000 ekor-480.000 ekor per tahun.
Meskipun harus mengeluarkan kocek lebih besar, tapi Johny memastikan impor sapi bakalan pada bulan ini akan tetap dilakukan karena sapi yang akan digemukkan bulan ini akan digunakan untuk kebutuhan Lebaran.
Ia menyebut feedloter akan mengimpor 150.000 ekor-175.000 ekor sapi bakalan untuk kebutuhan Puasa dan Lebaran nanti. Maklum, saat Lebaran, biasanya permintaan daging sapi naik hingga tiga kali lipat.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediayana mengatakan, sulit rasanya membuat harga daging sapi segar naik lagi di pasaran.
Pasalnya, saat ini peternak sapi lokal tak berdaya membendung daging kerbau impor yang dijual seharga Rp 80.000 per kg di pasaran. "Kondisi ini membuat gairah para peternak untuk mengembangkan sapi lokal terus menurun," ujarnya.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah untuk melindungi bisnis peternak lokal yang modalnya sangat terbatas. Sebab bila tidak, maka Indonesia akan tergantung terus dari daging impor.
Dengan memaksa harga daging kerbau sebesar Rp 80.000 per kg, hal itu sudah membuat bisnis peternak lokal hancur karena biaya produksi sapi lokal menembus di kisaran Rp 100.000 per kg.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News