Reporter: Kiki Safitri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga telur ayam dalam dua bulan belakangan ini terus turun. Menurut Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) rata-rata harga telur adalah Rp 18.500 per kg, padahal Harga Ecera Tertinggi (HET) adalah Rp 19.000 hingga Rp 22.000. Hal ini dinilai karena suplai di pasaran surplus 300 ton dan permintaan menurun.
“Harga turun ini kan memang karena secara mendasar faktor permintaan lagi rendah di sentra produksi. Ini karena faktor bulan suro dan bulan safar,” kata Samhadi selaku Sekretaris Eksekutif Pinsar kepada Kontan.co.id, Selasa (6/11).
Meski pasokan surplus, namun harga di pasar tidak bisa dipaksakan mengikuti HET. Karena ini akan berdampak pada penjualan yang tidak laku.
“Peternak itu produksi telur modal per kilo Rp 19.000 , tapi kalau peternak memaksakan diri menjual Rp 19.000 enggak ada yang beli. Jadi mau enggak mau dia ngikutin pasar. Karena kan di pasaran ada yang menjual Rp 18.500 ya mekanisme transaksi itu menyeret turun atau naiknya harga,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, peternak tetap mengikuti harga pasar meskipun merugi, yang terpenting bagi peternak adalah tetap menjalankan mesin produksi yang paling tidak mampu menghasilkan uang untuk biaya operasional.
“Walaupun rugi tapi mesinnya tetap berputar, berharap suatu ketika harga naik baru kita dapat untung,” jelasnya.
Selain itu, masalah peternak juga berharap agar harga pakan ternak berupa jagung tidak ikut terkerek naik. Jika ini terus terjadi maka peternak dua kali merugi di mana awalnya dirugikan oleh selisih harga produksi dan harga pasar, yang kedua adalah harga pakan.
“Kuncinya di Jagung. Jagung di pasaran itu jumlahnya tidak banyak. Artinya tidak bisa memenuhi kebutuhan. Kalaupun ada harganya mahal,” ungkapnya.
Ia menyebut harga jagung untuk pakan ternak adalah Rp 5.200 sampai Rp 5.600 per kg. Adapun menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 tahun 2018 tentang penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan di penjualan konsumen menetapkan harga jagung berdasarkan tingkat kadar airnya dengan rinciannya, jagung kadar air 15% di dibeli Rp 3.150 per kg dan dijual seharga Rp 4.000 per kg.
Kemudian jagung kadar air 20% Rp 3.050 per kg, jagung kadar air 25% Rp 2.850 per kg, jagung kadar air 30% Rp 2.750 per kg dan jagung kadar air 35% Rp 2.500 per kg.
“Otomatis kalau kemahalan kan dipakai enggak ada untungnya karena harga telur juga turun. Ya kalau bisa bagaimana caranya apakah dengan impor atau dalam negeri harga bisa turun dan ketersediaannya terjamin. Ya alternatifnya sih impor,” ungkapnya.
Ia menambahkan saat ini kebutuhan industri perunggasan akan jagung adalah 13 juta ton per tahun. Sedangkan saat ini yang tercukupi hanya 9 juta ton.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Diarmita menyebut sejauh ini sedang berupaya mencari solusi terbaik bagi para peternak telur.
“Sebetulnya kita masih mencari upaya kalau bisa tidak impor kenapa harus impor? Ini yang masih dibicarakan. Jagung itu kan sebenarnya ada, tapi jaraknya jauh-jauh seperti Sulawesi Barat atau Gorontalo, Ini kan butuh ongkos transportasi inilah yang mendorong harga naik,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Kemtan akan membantu mencarikan alternative bagi peternak untuk mendapatkan harga pakan secara wajar. Ia juga berusaha menjaga harga untuk tetap stabil di kisaran Rp 18.000, ini karena jika harga terus bergeliat naik maka akan sulit untuk diturunkan.
“Ini akan kita carikan jalan keluar, sekarang bagaimana caranya peternak kita itu dapat pakan yang murah dan mudah di akses,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News