kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Hatta Tak Setuju Tifatul Berikan Frekuensi Bekas A


Jumat, 27 Desember 2013 / 21:31 WIB
Hatta Tak Setuju Tifatul Berikan Frekuensi Bekas A
ILUSTRASI. Logo Bursa Efek Indonesia terlihat di Jakarta, Senin (25/9/2017).


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Keputusan Kementerian Komunikasi dan Telekomunikasi (Kemkominfo) meluluskan pengalihan langsung semua frekuensi 1.800 Mhz eks PT Axis Telekom Indonesia kepada PT XL Axiata Tbk, menuai kontroversi dalam tubuh pemerintah sendiri.

Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan tersebut. Hatta menegaskan, spektrum frekuensi adalah bagian dari sumber daya terbatas yang dikelola negara. Karenanya harus dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kepentingan negara.

"Itu kan (spekturm frekuensi-red) sumber daya terbatas, jadi harus dimanfaatkan untuk kepentingan negara, bukan untuk kepentingan asing," kata Hatta, Jumat (27/12).

Menurutnya, sesuai aturan, maka frekuensi tidak bisa dipindahtangankan, melainkan harus dimanfaatkan untuk memberikan pendapatan kepada negara. Dalam kasus merger antara Axis dengan XL Axiata, Hatta menilai Axis tidak bisa begitu saja memindahtangankan spektrum frekuensi ke pihak manapun dan dengan alasan apapun, baik itu asas komersialisasi maupun kerja sama lainnya.

"Apapun alasannya, spektrum frekuensi itu  tidak bisa dikomersialkan. Dia (Axis) harus mengembalikannya ke pemerintah, yang kemudian baru pemerintah yang mengaturnya. Spektrum frekuensi telekomunikasi harus dimanfaatkan untuk memberikan pendapatan kepada negara,” tuturnya.

Proses merger antara XL Axiata dan Axis Telekom Indonesia sejauh ini memang terus memunculkan polemik. Terlebih tatkala Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring memberikan persetujuan pengalihan langsung dengan dalih menyelamatkan pendapatan negara.

Tifatul berkilah, Axis kini terancam bangkrut dan tidak mampu membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) sewa frekuensi tahun ini sekitar Rp 1 triliun kepada pemerintah. Dua tahun terakhir, Axis melaporkan kerugian sekitar Rp 2,3 triliun per tahun, “Jika akuisisi ditunda maka Axis akan bangkrut, dan negara rugi karena Axis tidak bisa bayar BHP frekuensi. Sehingga, potensi PNBP tahun ini ada yang hilang,” katanya.

Kemkominfo mencatat, industri telekomunikasi menyumbang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 12 triliun per tahun, di mana sekitar 85 persen dari jumlah tersebut berasal dari BHP frekuensi. Dengan merger, XL mengaku menyatakan kesediaannya membayar BHP terutang atas sewa frekuensi Axis Rp 1 triliun yang jatuh tempo pada 15 Desember 2013.

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidik menyatakan, proses merger operator telekomunikasi tersebut tidak bisa begitu saja mengalihkan hak pengelolaan frekuensi yang merupakan hak pakai dari negara. Apalagi KPPU dan DPR belum memberikan persetujuan.

“Dengan alasan apa pun, apalagi cuma sekadar menyelamatkan PNBP Rp 1 triliun, frekuensi tidak bisa langsung dialihkan begitu. Itu harus kembali dulu kepada negara, baru kemudian direalokasikan dengan menggunakan sistem lelang atau evaluasi”, ucap Mahfudz.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×