Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hilirisasi batubara atau secara nomenklatur disebut sebagai peningkatan nilai tambah batubara masih menghadapi sejumlah kendala dalam penerapannya. Keekonomian, teknologi, hingga modal atau pendanaan adalah beberapa kombinasi mengapa proyek hilirisasi batubara ini belum terlaksana.
Hilirisasi batubara merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Payung hukum tersebut kemudian diperjelas dalam peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan Pasal 124 PP Nomor 96 Tahun 2021 menyatakan, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas tambang Batubara wajib melaksanakan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara di dalam negeri.
Baca Juga: Bahlil Tegaskan Indonesia Bakal Kuasai 61% Saham Freeport
Kegiatan pengembangan tersebut antara lain pembuatan kokas (coking), pencairan Batubara (coal liquefaction), atau gasifikasi batubara, termasuk di antaranya gasifikasi batubara bawah tanah alias underground coal gasification.
Menurut catatan KONTAN, ada 11 perusahaan yang telah menyatakan komitmennya untuk melakukan hilirisasi batubara, beberapanya adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif menyatakan bahwa Indonesia tidak menguasai teknologi untuk program hilirisasi.
"Peningkatan nilai tambah ini masih berat begitu bicara ke nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia, ada kelemahan besar, kita tidak punya teknologi, kita membayar (teknologi) terlalu mahal," kata Irwandy di Jakarta, Kamis (17/3).
Irwandy memberi contoh perusahaan batubara dalam negeri seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang akan melakukan hilirisasi batubara namun terkendala karena teknologi yang dibawa oleh perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yaitu Air Products mundur dari proyek hilirisasi kedua perusahaan tersebut.
Ketidakberdayaan Indonesia untuk urusan hilirisasi batubara ini terlihat jelas ketika Air Products memutuskan angkat kaki dari proyek hilirisasi bersama PTBA dan Kaltim Prima Coal (KPC).
Keterbatasan teknologi ini bukan hanya menghambat hilirisasi batubara saja melainkan komoditas tambalin lainnya.
"Seperti pengolahan nilai tambah nikel yang seluruh teknologinya dari luar negeri misalnya teknologi RKEF yang 90% dari China dan HPAL untuk baterai juga dari China," ujar Irwandy.
Ia menjelaskan ada delapan teknologi hilirisasi batubara yang sedang dikembangkan, antara lain gasifikasi batubara, pencairan batubara, briket batubara, cokes making, coal upgrading, ekstrasi batubara, blending facility, hingga penerapan CCS dan CCUS.
Lebih lanjut, sebagian besar teknologi tersebut masih dalam tahap kajian kelayakan hingga penyiapan pembangunan, sebagian kecilnya sudah masuk tahap pembangunan dan penerapan teknologi.
Proyek entitas-entitas grup PT Bumi Resources Tbk (BUMI) terlibat dalam proyek hilirisasi batubara, yaitu proyek coal to methanol dengan kapasitas produksi methanol sebesar 1,8 juta ton per tahun PT Kaltim Prima Coal yang bekerja dengan PT Kaltim Nusantara Coal, juga proyek coal to methanol PT Arutmin Indonesia yang direncanakan memiliki kapasitas produksi 2,95 juta ton per tahun.
Direktur dan Corporate Secretary PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava mengatakan, BUMI terus mempersiapkan proyek hilirisasi batubara sambil menunggu beberapa peraturan terkait antara lain pengenaan tarif PNBB batubara 0%, pengaturan harga jual batubara untuk hilirisasi, Pembangunan PLTU untuk proyek hilirsasi, dan lain-lain.
Baca Juga: Ini Strategi Emiten Jasa Tambang Tingkatkan Kinerja di Tahun 2024
Ia menjelaskan, untuk menjalankan hilirisasi batubara, diperlukan insentif, pendanaan, hingga percepetan dengan undang-undang yang memungkinkan proyek-proyek bisa terlaksana, seperti terjadi di India.
"Pendekatan ini membantu untuk mendorong proyek-proyek hilirisasi," kata Dileep kepada KONTAN, Senin (18/3).
Lebih lanjut, rencana hilirisasi Group BUMI terus disiapkan dengan calon mitra strategis dari China. Tahun ini ditargetkan dapat dilaksanakan financial closing untuk siap ke tahapan selanjutnya atau konstruksi.
Menurut Dileep, secara perhitungan keekonomian proyek hilirisasi ini adalah sensitive terhadap harga jual produk dan beberapa peraturan pemerintah antara lain PNBP Batubara 0%, izin harga batubara khusus, tax holiday & beberapa insentive lainnya.
"Anak usaha BUMI senantiasa berusaha melaksanakan hilirisasi batubara ini sesuai dengan amanat peraturan yang berlaku di Indonesia," tandasnya.
Selain itu, ada PT Adaro Indonesia melalui anak usaha PT Indika Energy Tbk (INDY) yang masih mengkaji proyek hilirisasi batubara. Head of Corporate Communication ADRO Febriati Nadira mengatakan, melalui pilar Adaro Minerals, Adaro mendukung program pemerintah dan berpartisipasi dalam program hilirisasi mineral dan pengembangan ekonomi hijau di Indonesia dengan berkomitmen membangun smelter aluminum di provinsi Kalimantan Utara.
Sedangkan melalui pilar Adaro Green, kata Febrianti, Adaro berperan aktif dalam proyek-proyek energi terbarukan untuk hilirisasi atau minerals processing serta berpartisipasi aktif dalam tender berbagai pembangkit listrik terbarukan.
“Adaro masih melakukan kajian untuk peningkatan nilai tambah batubara,” kata Febriati kepada KONTAN, Senin (18/3).
Baca Juga: Ini Penyebab Utama Terkendalanya Hilirisasi Batubara di Tanah Air
Hambatan Hilirisasi Batubara
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menerangkan, tantangan hilirisasi batubara yaitu keekonomian karena produk batubara untuk sumber energi yang jika ingin diolah lagi lebih lanjut harus menguasai teknologi.
"Teknologinya dari luar negeri dan itu tidak murah," kata Hendra kepada KONTAN, Senin (18/3).
Selain itu, Hendra menyoroti pendanaan proyek hilirisasi ini pun tidak mudah lantaran perbankan baik di dalam negeri maupun di luar negeri sudah tidak memberikan pendanaan untuk batubara. "Jika pun sudah ada dananya, (teknologinya) mahal," sambungnya.
Ia menuturkan, untuk mencapai keekonomian memiliki banyak faktor, misalnya setelah batubara memiliki nilai tambah nanti akan diolah atau dikonversi menjadi gas atau sebagai pengganti LPG.
"Pertanyaannya yang menyerap (pasarnya) nanti siapa dan marketnya belum tau, harganya juga belum tau," tandasnya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menilai, hilirisasi di bidang batubara memang agak sulit untuk diterapkan karena yang utama adalah faktor keekonomiannya yang tidak bisa dipenuhi.
Rizal mencontohkan apa yang terjadi di PTBA dengan hengkangnya Air Product itu lebih disebabkan karena faktor keekonomian. Hal yang utama adalah Indonesia tidak menguasai teknologinya sehingga kita harus mengimpor teknologi tersebut dari negara lain dan tentu saja mahal harganya.
Selain itu, kata Rizal, hal lain juga dipengaruhi oleh harga jual batubara yang sempat melonjak tinggi sejak pandemi covid-19 yang lalu. Namun, dalam perkembangannya tentu hilirisasi ini tetap akan berjalan seiring perkembangan teknologi ke depan dan kebutuhan akan produk2 hilirisasi batubara.
"Salah satu contohnya adalah untuk menghasilkan pupuk organik dari batubara yang sangat dibutuhkan negara-negara Eropa dan Amerika," ungkap Rizal kepada KONTAN, Senin (18/3).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, saat ini UU Minerba sebenarnya sudah sangat jelas mengatur tentang hilirisasi terutama untuk mineral. Namun untuk batubara bukan merupakan kewajiban.
"Jadi tidak efektifnya hilirisasi batubara karena beberapa faktor, antar lain karena ketidak seriusan pemerintah menyiapkan industri ini dan faktor keekonomian karena memang membutuhkan investasi yang sangat besar," kata Bisman kepada KONTAN, Senin (18/3).
Sementara tanpa dilakukan hilirisasi, Bisman bilang batubara juga sudah laku atau punya nilai ekonomi cukup tinggi sehingga wajar jika hilirisasi batubara belum menarik secara ekonomi dan investasi.
Menurut Bisman, kendala terbesar hilirisasi batubara pada modal dan investasi yang besar karena juga membutuhkan teknologi tinggi. Oleh karena itu diperlukan jaminan kepastian hukum bagi investasi ini dan tentunya insentif atau kemudahan dalam aspek bisnisnya.
Rizal menegaskan, untuk perusahaan yang berkewajiban melakukan hilirisasi batubara tidak ada sanksi karena memang bukan kewajiban.
"Kalau untuk batubara tidak ada kewajiban hilirisasi, tapi kalau hilirisasi mineral wajib dan memang harus ada sanksi serta memang UU tak berkutik karena kerap kali diabaikan bahkan tidak dijalankan oleh Pemerintah," ujarnya.
Baca Juga: Hilirisasi Batubara di Indonesia Terkendala Terbatasnya Teknologi
Peluang Implementasi Hilirisasi Batubara
Ketua Indonesia Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau menilai ada peluang untuk segera mengimplementasikan hilirisasi, jika memang kuncinya teknologi dengan kebutuhan biaya yang besar maka itu semua bisa di-cover dari pendanaan besar yang direncanakan untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Rachmat menerangkan, isu batubara selama ini disebabkan emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara, tapi batubara itu sendiri bukanlah emisi. Di sisi lain, EBT memang tidak bisa dilupakan. Yang harus diingat adalah batubara mempunyai peluang yang sangat besar dan itu sudah merupakan suatu kepastian dengan adanya cadangan yang ada.
“Jika menggunakan batubara tidak perlu mengeluarkan uang secara agresif ke barang (teknologi EBT) yang masih mahal. 2045 akan bisa lebih cepat justru sustainable coal mining (emisi tidak ada) kenapa tidak? 500 tahun kita masih punya (cadangan batu bara),” ungkap Rachmat di Jakarta, Kamis (14/3).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News