Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) melakukan renegosiasi jadwal operasi pembangkit untuk mengatasi kondisi kelebihan pasokan listrik atau oversupply.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, upaya renegosiasi telah dilakukan PLN selama dua tahun berturut-turut. Renegosiasi dilakukan untuk pembangkit yang memiliki jadwal Commercial Operation Date (COD) di tahun 2020 dan tahun 2021.
"Ada beberapa pembangkit termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang seharusnya di 2020 kemarin, kemudian digeser ke tahun ini. Itu kurang lebih 7 GW," ujar Rida dalam diskusi Pembangunan Hijau untuk Menghentikan Krisis Iklim, Selasa (23/11).
Rida melanjutkan, renegosiasi yang telah dilakukan tersebut cukup membantu PLN dalam mengatasi kondisi oversupply listrik yang terjadi sepanjang tahun lalu akibat pandemi covid-19.
Baca Juga: Jokowi minta transisi energi terbarukan dikalkulasi detail
Kemudian, renegosiasi juga telah dilakukan untuk pembangkit yang memiliki jadwal COD ditahun ini untuk kemudian digeser ke tahun 2022. Tercatat, renegosiasi jadwal kontrak telah dilakukan untuk total kapasitas 5,75 GW pembangkit.
Mengutip pemberitan Kontan.co,id sebelumnya, PLN memastikan langkah renegosiasi kontrak pembangkit dengan Independent Power Producer (IPP) memberikan efisiensi mencapai Rp 26 triliun.
Direktur Energi Primer PLN Rudy Hendra Prastowo menyebutkan, per Oktober 2021, sudah ada 14 proyek dengan IPP yang mencapai kesepakatan untuk dinegosiasikan ulang. PLN sendiri menargetkan ada 34 proyek dapat dinegosiasikan ulang.
Adapun, efisiensi sebesar Rp 26 triliun bersumber dari 14 proyek yang sudah mencapai kata sepakat tersebut. Rudy belum bisa menyampaikan lebih detail potensi efisiensi yang bisa dicapai jika seluruh proyek sukses direnegosiasikan.
"Nilai sangat tergantung terhadap dari waktu Commercial Operation Date (COD) maupun Availability Factor (AF). Nilai (Rp 26 triliun) ini merupakan efisiensi dari batasan Take or Pay (TOP) yang dikenakan ke PLN," ujar Rudy kepada Kontan.co.id, akhir Oktober lalu.
Rida melanjutkan, selain upaya negosiasi jadwal operasi pembangkit, PLN juga didorong untuk bisa menegosiasikan kembali besaran take or pay (TOP) dari pembangkit-pembangkit eksisting. "Ada upaya negosiasi juga perlu dilakukan oleh teman-teman PLN atau perlu kita dorong untuk dilakukan yaitu negosiasi ketentuan take or pay," kata Rida.
Kendati demikian, Rida memastikan dalam pelaksanaan ini pihaknya menghimbau agar PLN tetap dapat melaksanakan negosiasi dengan menghargai kontrak yang sudah ada.
Rida menjelaskan, upaya negosiasi ini diharapkan bisa mengurangi beban yang harus ditanggung PLN dari skema TOP.
Sekedar informasi, dalam skema TOP, PLN diwajibkan untuk mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda jika kemudian tidak mengambil sesuai dengan volume yang disepakati.
Dalam kondisi oversupply yang timbul akibat berkurangnya aktivitas selama pandemi covid-19, skema ini cukup memberatkan PLN.
"Yang TOP ini yang eksisting bisa dibicarakan segera untuk beban TOP-nya itu berkuranglah minimum, kalau bisa ya dihilangkan tetapi sepertinya tidak mungkin. Tapi paling tidak ini dilakukan," kata Rida.
Rida melanjutkan, ke depannya akan lebih baik jika tidak ada lagi skema TOP yang dikenakan atau setidaknya beban penalti yang ada dikurangi. "Mungkin bahasanya dengan menerapkan staging price untuk IPP," kata Rida.
Selanjutnya: PLN mulai menawarkan 21 proyek energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2022
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News