Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penyedia Data Center Indonesia (Indonesia Data Center Provider Organization/IDPRO) menyayangkan rencana pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
Perubahan beleid tersebut dianggap sebagai kemunduran bagi iklim usaha penyedia data dalam negeri yang tengah bertumbuh lantaran tak lagi mewajibkan pusat data berada di wilayah Indonesia.
Sekretaris Jenderal IDPRO Teddy Sukardi mengatakan, saat ini banyak negara justru gencar mempromosikan agar membangun pusat data di negaranya tersebut.
"Indonesia justru dengan perubahan peraturan ini justru sebaliknya, pusat data malah kesannya disuruh di luar negeri saja," ujar Teddy kepada Kontan.co.id, Rabu (24/10).
Dari aspek usaha, Teddy menilai, perubahan aturan ini berpotensi menghambat pertumbuhan usaha dan investasi pusat data yang tengah berkembang baik di Indonesia.
"Pengusaha asing sadar kalau ada kewajiban data disimpan di negara sendiri, karena itu mereka investasi di sini terutama untuk data yang menyangkut layanan publik seperti data kesehatan, keuangan, transportasi," kata dia.
Lantas, Teddy mengatakan industri pusat data dalam negeri tumbuh positif dalam lima tahun terakhir, bahkan lebih dari 100%. Sayang, IDPRO belum rampung menghitung berapa pertumbuhan industri ini secara spesifik.
"Soalnya, pertumbuhan data centre itu bisa dihitung dari beberapa variabel seperti luas space yang digunakan sebagai data centre, atau dari penggunaan energi listrik (wattage) data centre, atau bisa juga dari pertumbuhan nominal investasi data centre yang ada," terang Teddy.
Dengan dilonggarkannya aturan pusat data boleh berada di luar negeri, industri pusat data Indonesia berpotensi mengalami kemunduran. Apalagi, sejauh ini IDPRO belum menerima kejelasan soal klasifikasi data elektronik yang boleh dan tidak boleh disimpan di luar negeri.
"Masih belum jelas data-data mana yang mau dilindungi dan tidak, jadi lebih baik ditunda dulu. Belum ada baseline yang jelas, terutama untuk kategori data risiko tinggi dan risiko rendah," ungkap Teddy.
Ia mengatakan, sejatinya tak ada alasan kuat bagi pemerintah untuk mengubah aturan tersebut. Jika yang dipertimbangkan adalah industri start-up, Teddy berpendapat, tidak ada masalah berarti sebab start-up tetap bisa jalan dengan pusat data lokal.
Sementara, tak ada halangan pula jika start-up butuh membuat pusat data sendiri di luar negeri selama tidak membawa data yang bersifat publik.
Teddy juga berpendapat, jika alasannya terkait penggunaan cloud computing, hal tersebut tidak relevan. "Cloud computing itu kan hanya cara menyimpan yang lebih fleksibel, tapi ya tidak masalah kalau data centrenya secara fisik ada di Indonesia," pungkasnya.
Teddy juga mengimbau agar pemerintah dan lembaga terkait, seperti Bank Indonesia dan OJK, lebih memperhatikan dampak dari kebijakan ini.
Juga lembaga penegak hukum seperti Polri dan KPK yang berpotensi terhambat mengakses data untuk keperluan penyelidikan jika ditempatkan di luar negeri.
"Jangan sampai nanti data-data individu jadi tidak bisa lagi dilindungi negara," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News