Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Service Reform (IESR) menilai Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) punya peranan untuk menciptakan mekanisme pasar atau permintaan (demand) energi terbarukan.
Manager Program Transformasi Energi Institute for Essential Service Reform (IESR) Jannata Giwangkara menyampaikan, RUU EBT memungkinkan adanya Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET) yakni kewajiban badan usaha energi untuk membangun atau memproduksi energi terbarukan.
“SPET ini sudah diusulkan ketika rapat dengar pendapat dengan DPR RI pekan lalu,” imbuh pria yang akrab disapa Egi tersebut dalam webinar, Rabu (23/9).
Selain itu, RUU EBT juga menghadirkan Sertifikat Energi Terbarukan (SET) atau mekanisme jual-beli bukti produksi energi terbarukan untuk pemenuhan syarat SPET.
RUU EBT juga mengakomodasi adanya pajak atau denda karbon/emisi. Ini merupakan pengenaan biaya untuk konsumsi bahan bakar fosil atau dengan pengetatan standar emisi misalnya untuk pembangkit, transportasi, dan industri.
Egi menyebut, IESR telah menghitung besarnya potensi dana energi terbarukan dari tiga skenario, yaitu pungutan produksi batubara, pungutan konsumsi BBM, dan pembebanan tambahan pada tarif listrik rumah tangga nonsubsidi.
Baca Juga: Pemanfaatan energi terbarukan masih minim, RUU EBT patut diselesaikan
Untuk pungutan produksi batubara, ditentukan berdasarkan persentase dari nilai jual dan kualitas dari batubara yang bersangkutan. Besaran pungutannya sekitar 1%-5% dari total produksi batubara, sehingga dapat menghimpun potensi dana sebesar Rp 7,8 triliun-Rp 21,9 triliun per tahun.
Pungutan konsumsi BBM ditentukan dari harga jual akhir BBM dengan besaran pungutan antara 2,5%-7,5%. “Dengan begitu potensi dana yang dihitung bisa mencapai Rp 8,9 triliun-Rp 26,2 triliun per tahun,” ungkap Egi.
Adapun pembebanan tambahan pada tarif listrik rumah tangga nonsubsidi dilakukan kepada golongan R1 nonsubsidi, R2, dan R3 berupa kenaikan tarif antara 5%-15%. Alhasil, potensi dana yang bisa dihimpun dari situ sebesar Rp 0,8 triliun-Rp 3,8 triliun per tahun.
Di luar itu semua, keberadaan RUU EBT diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang lebih kuat untuk tetap memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Selanjutnya: Sejumlah aspek ini perlu jadi perhatian dalam pembahasan RUU Energi Terbarukan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News