Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) atau asosiasi industri besi dan baja Indonesia, Purwono Widodo mengatakan bahwa Indonesia mencatatkan kenaikan impor baja per-Oktober 2023 ini mencapai 17,9 juta ton atau naik sekitar 5% jika dibandingkan tahun lalu, sedangkan produksi dalam negeri berada di angka 14,4 juta ton.
Purwono mengatakan salah satu penyebabnya adalah tidak seimbangnya produksi di dalam negeri dan tingginya impor baja, contohnya dari China.
“Contoh misalnya untuk di(baja) lembaran ya, di lembaran itu kebutuhan kontrol itu setahunnya itu sekitar 2 juta ton. Kita kapasitasnya masih di bawah itu, jadi makanya perlu tambah-tambah (impor),” ungkapnya saat ditemui di acara Press Conference, IISIA Business Forum 2023, Senin (6/11).
Ini terlihat dari rendahnya utilisasi kapasitas produksi nasional, yang rata-rata hanya 54%, jauh dari target optimal sebesar 80%.
Baca Juga: IISIA: Industri Baja Nasional Siap Penuhi Kebutuhan 9,5 Juta Ton Baja Proyek IKN
Di sisi lain, industri baja ungkapnya adalah salah satu industri yang memiliki proses cukup panjang untuk mendapatkan produk akhir.
“Kalau industri baja di hulu itu secara perhitungan 1 juta ton produksi bisa makan biaya hingga US$ 1 miliar. Kalau di bagian intermediate itu baja rolling kemudian di industri baja hilirnya baru hasilnya seperti seng, paku,” katanya.
Karena proses yang panjang inilah, banyak negara yang memiliki kapasitas produksi yang lebih tinggi dari Indonesia sehingga membidik pasar Indonesia untuk mengirim baja mereka.
Purwono juga mengatakan, oleh karena itu pihak IISIA, pemerintah dan juga pelaku di industri besi dan baja harus membahas pengendalian barang impor dengan segera, agar pasar industri tidak dikuasai oleh barang-barang asing.
“Jadi artinya jangan sampai karena wah kita kurangnya misalnya, impornya (baja) sampai lebih 30%. Karena ini pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, Indonesia sebagai negara yang mempunyai industri baja, impornya itu sempat melampaui angka 50% bahkan 55%, itu aneh dan tidak umum menurut saya,” katanya.
Purnomo mengatakan, sebagai negara yang mempunyai industri baja, maksimum baja impor harusnya ada di angka 20-30% saja, tidak lebih dari itu.
“Impor maksimum itu 30%, kalau impor 20-30% itu biasa ah, Jepang yang negara maju begitu juga, Korea juga ada impornya,” tutupnya.
Untuk mendukung perkembangan industri baja dan menekan baja impor ia meminta kepada pemerintah agar menjaga investasi yang sudah dilakukan itu dari adanya transaksi yang tidak sehat atau unfair.
Baca Juga: Tekan Emisi Karbon, Gunung Raja Paksi (GGRP) Akan Produksi Baja Ramah Lingkungan
“Kalau disebut unfair trade itu biasanya dari impor yang dumping atau mengekspor produk dengan harga lebih rendah dari pasarannya,” ungkap dia.
Selain menjaga peraturan dari luar, IISIA juga meminta pemerintah senantiasa teliti terhadap produk-produk besi-baja yang non standar dan masih dijual bebas di pasaran.
“Misalnya yang panci-panci itu. Anggota kita yang lain bikinnya yang bagus itu sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia), yang lain tak SNI. Nah ini yang kita bersama-sama dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag),” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News