Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan, Indonesia masih perlu banyak impor untuk mencukupi kebutuhan elpiji dalam negeri. Saat ini 53% kebutuhan elpiji domestik didatangkan dari luar negeri.
Bambang menyebutkan, liquid petroleum gass atau elpiji berbeda dari liqud natural gass (LNG). Elpiji merupakan produk sampingan dari tambang minyak sehingga jumlahnya tidak sebesar LNG yang dihasilkan, misalnya di Arun dan Tangguh. Adapun untuk elpiji, bahannya masih diimpor. "Karena, elpiji ini memang tidak ada bahannya di Indonesia," ujar Bambang, Selasa (7/1) di Jakarta.
Sepanjang 2013, pemerintah telah menganggarkan subsidi elpiji tabung 3 kilogram sebesar Rp 30 triliun. Meski demikian, berdasarkan keterangan Direktur Jenderal Anggaran Askolani, tagihan yang harus dibayar pemerintah nyatanya lebih tinggi, yakni sebesar Rp 40 triliun. Penyebabnya kurs rupiah melemah.
Menurut Bambang, kondisi ini masih jauh lebih baik dibandingkan sebelum konversi minyak tanah ke gas. "Bayangkan kalau masih pakai minyak tanah. Di satu sisi masih impor. Kedua, butuh subsidi lebih besar karena enggak mungkin kasih harga tinggi, karena (minyak tanah) untuk rakyat kecil kan," ujarnya.
Untuk 2014, Bambang memperkirakan subsidi elpiji masih sama dengan tahun lalu, yakni di kisaran Rp 30 triliun hingga Rp 40 triliun. Ia menyangsikan kenaikan harga elpiji nonsubsisi 12 kilogram akan membuat konsumen beralih menyerbu elpiji subsidi tabung melon. Hal itu dikarenakan kenaikan harga elpiji 12 kg tidak terlalu besar.
"Kalau harga naik Rp 1.000 per kilogram, saya perkirakan migrasi kecil sekali, sama seperti pertamax ke premium," kata Bambang. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News