Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menilai penurunan permintaan minyak sawit dari India dalam beberapa waktu terakhir dipicu oleh perbedaan arah kebijakan dagang antara kedua negara.
Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, menjelaskan bahwa India saat ini menerapkan bea masuk rendah untuk crude palm oil (CPO), namun lebih tinggi untuk produk turunannya seperti refined, bleached, and deodorized (RBD) olein.
Baca Juga: Harga Referensi CPO Oktober 2025 Naik Jadi US$ 963,61 per Metrik Ton
Sebaliknya, Indonesia justru mendorong hilirisasi industri sawit, dengan mengenakan bea keluar dan pungutan ekspor tinggi pada CPO, serta lebih rendah untuk produk olahan.
“Dengan situasi ini, India cenderung lebih banyak mengimpor CPO sebagai bahan baku dari negara lain agar industri pengolahannya tetap berjalan,” ujar Sahat kepada Kontan, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, kondisi tersebut berdampak langsung pada kinerja ekspor produk hilir sawit Indonesia, yang kini kehilangan sebagian pangsa pasar strategis di India.
Meski demikian, Sahat menilai dampaknya belum signifikan, mengingat negara produsen CPO lain juga memiliki keterbatasan produksi.
Di sisi lain, India dengan populasi hampir 2 miliar orang tetap membutuhkan pasokan minyak nabati dalam volume besar.
“Jadi ada juga mereka Impor produk hilir sawit Indonesia,” jelasnya.
Baca Juga: Impor Minyak sawit India Turun pada September 2025, Gapki Beberkan Sebabnya
Selain faktor kebijakan, Sahat menambahkan bahwa selisih harga antara minyak sawit dan minyak kedelai (soyoil) turut memengaruhi pola impor India.
Saat ini, harga CPO di pasar Rotterdam mencapai sekitar US$ 1.345 per ton, sedangkan soyoil tercatat US$ 1.043 per ton.
“Ini situasi yang tidak biasa, karena biasanya harga CPO justru lebih rendah sekitar US$ 50–120 per ton dibandingkan soyoil,” jelasnya.
Ia menilai pemerintah Indonesia perlu menyesuaikan strategi penetapan harga ekspor agar tidak terbawa oleh dinamika harga global yang justru dapat merugikan pelaku industri domestik.
“Indonesia seharusnya tidak mengikuti harga CPO di Rotterdam, karena seluruh biaya produksi CPO di dalam negeri menggunakan rupiah, bukan dolar AS. Jadi, harga CPO Indonesia sebaiknya tetap dijaga di bawah harga soyoil, bukan malah ikut larut dalam permainan harga minyak nabati global,” ujar Sahat.
Sebagai informasi, berdasarkan data The Hindu Business Line, impor minyak sawit India pada September 2025 turun 15,9% secara bulanan menjadi sekitar 833.000 ton metrik, yang merupakan level terendah sejak Mei 2025.
Selanjutnya: BKPM Ungkap Belum Ada Investor yang Tertarik Tanam Uang di Proyek DME Batubara
Menarik Dibaca: Promo Sociolla Road to 10.10 Oktober 2025, Soulyu-Skintific Diskon sampai 65%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News