Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kontribusi industri hulu dan hilir gas terhadap perekonomian Indonesia tercatat terus meningkat. Untuk itu perlu dukungan semua pihak agar pasokan gas bisa tetap lancar.
Komaidi Notonegoro Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengungkapkan, hasil studi ReforMiner menemukan bahwa sektor ekonomi yang terkait dan terlibat dengan kegiatan usaha hulu gas meningkat dari 104 sektor menjadi 113 sektor.
Indeks multiplier industri hulu gas juga meningkat dari 4,98 menjadi 6,56. Artinya penciptaan manfaat atau nilai tambah ekonomi dari investasi yang dilakukan oleh industri hulu gas meningkat dari 4,98 kali menjadi 6,56 kali.
“Industri hulu gas memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor pendukung dan penggunanya. Kegiatan usaha hulu gas memiliki peran penting baik sebagai penyedia bahan baku maupun penyedia energi,” ungkap dia, Rabu (27/8) di Jakarta.
Ia menjelaskan, peran penting dan keterkaitan industri hulu gas dengan sektor ekonomi pendukung dan penggunanya tercermin dari nilai total linkage index yang meningkat dari 2,63 menjadi 3,12.
Nilai linkage index diatas 1 mengindikasikan bahwa suatu sektor ekonomi memiliki keterkaitan dan peran yang kuat dalam mendorong dan menarik pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lainnya.
Komaidi mengungkapkan, pengembangan dan pengusahaan industri hulu gas sejalan dengan pelaksanaan kebijakan transisi energi, penyelesaian masalah defisit gas di sejumlah wilayah, dan pelaksanaan kebijakan hilirisasi.
Berdasarkan kajian ReforMiner, jika 50% volume konsumsi minyak bumi dan batubara Indonesia dikonversi dengan gas bumi, dapat menurunkan emisi masing-masing 36,16 juta ton CO2e dan 123,35 juta ton CO2e.
Potensi defisit pasokan gas pada wilayah Jawa Barat dan Sumatera yang diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 513 MMSCFD pada 2035 dapat diminimalkan jika pengembangan dan pengusahaan hulu gas dapat dioptimalkan.
Pelaksanaan hilirisasi gas yang akan dilaksanakan memerlukan dukungan dan pasokan dari industri hulu gas.
Kebutuhan gas untuk hilirisasi yang akan dilakukan untuk (1) Pupuk Iskandar Muda (PIM)-3, (2) Pupuk Sriwijaya (Pusri) III, (3) Proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban, (4) Amurea Pupuk Kimia Gresik (PKG).
Lalu (5) Pabrik Methanol Bojonegoro, (6) Proyek Petrokimia Masela, (7) Pengembangan Amonia Banggai, (8) Pengembangan Ammonia dan Urea di Papua Barat, dan (9) Pengembangan Blue Amonia di Papua Barat, diproyeksikan mencapai 1.078 MMSCFD.
Optimalisasi pengembangan dan pengusahaan hilir gas memiliki peran strategis dalam memperbaiki kondisi fiskal dan moneter Indonesia.
Komaidi mnurutkan, peningkatan kapasitas produksi LPG domestik berpotensi dapat memperbaiki kondisi fiskal dan moneter. Berdasarkan data konsumsi LPG Indonesia meningkat dari 8,02 juta ton pada 2020 menjadi 8,90 juta ton pada 2024.
“Sementara kemampuan produksi LPG domestik stagnan pada kisaran 1,9 juta ton. Karena itu Indonesia harus mengimpor LPG sekitar 6,90 juta ton per tahun,” jelas Komaidi.
Kebutuhan anggaran subsidi LPG dalam kurun 5 tahun terakhir mencapai sekitar Rp 453 triliun. Realisasi anggaran subsidi LPG selama kurun waktu tersebut berkisar antara 40 % - 60 % dari total anggaran subsidi energi.
Kebutuhan devisa impor yang diperlukan untuk melakukan impor LPG mencapai sekitar Rp 64 triliun per tahun. Kebutuhan anggaran subsidi dan devisa impor LPG berpotensi menurun jika produksi LPG domestik dapat ditingkatkan.
Selanjutnya: Petani Tebu Desak Revisi Aturan Impor
Menarik Dibaca: IHSG di Fase Bullish Consolidation, Ini Rekomendasi Saham Mirae Sekuritas (28/8)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News