Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia diperkirakan membutuhkan dana jumbo agar dapat mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara sebelum tahun 2050.
Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan Indonesia membutuhkan dana sekitar Rp 444 triliun untuk mempensiunkan 19 PLTU berbasis batubara sebelum tahun 2050. Untuk itu, ia bilang diperlukan dukungan pendanaan dari berbagai pihak untuk merealisasikan rencana tersebut.
Langkah ini sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang berupaya mempercepat transisi dari energi berbasis batubara ke energi baru terbarukan (EBT) dalam waktu 15 tahun ke depan. Namun, tantangan fiskal menjadi hambatan besar dalam mewujudkan ambisi tersebut.
Baca Juga: Pensiun Dini PLTU Pelabuhan Ratu Masuk Dalam Daftar Prioritas Skema Pendanaan JETP
Celios mencatat bahwa ruang fiskal pemerintah semakin terbatas. Pada 2025, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diproyeksikan mencapai Rp 649 triliun atau sekitar 2,82% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mendekati batas aman yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 3%.
Selain itu, pemerintah juga menghadapi kewajiban pembayaran utang jatuh tempo yang rata-rata mencapai Rp 800 triliun per tahun pada 2025-2029.
Di sisi lain, bunga utang yang harus dibayar pada 2025 diperkirakan lebih dari Rp 552 triliun dan berpotensi meningkat menjadi Rp 620 triliun pada akhir masa jabatan Presiden Prabowo.
Program prioritas lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) turut bersaing dengan anggaran transisi energi. Menurut laporan Celios, pelaksanaan skema MBG secara penuh pada 2029 dapat meningkatkan belanja negara hingga Rp 4.962 triliun dan mendorong defisit APBN melebar hingga 3,34%, melampaui batas yang diizinkan.
Skema debt swap
Melihat tantangan fiskal yang kompleks, Celios menyarankan pemerintah untuk mengeksplorasi pendekatan kreatif seperti skema debt swap. Dalam skema ini, negara maju dapat memberikan pendanaan sebagai bagian dari kewajiban mereka dalam pendanaan iklim, sementara Indonesia dapat mengalihkan sebagian kewajiban utang ke program transisi energi yang lebih strategis.
Selain hambatan fiskal, kondisi keuangan PLN juga menjadi tantangan besar. Saat ini, total utang PLN mencapai Rp 396 triliun. Meskipun berhasil mengurangi utang hingga Rp 50 triliun dalam empat tahun terakhir dan mencatat laba selama tiga tahun berturut-turut, kapasitas PLN untuk mendanai pensiun dini PLTU tetap terbatas.
Baca Juga: Pensiun Dini PLTU Cirebon 1 Dapat Dorong Upaya Suntik Mati Pembangkit Batubara Lain
PLN masih sangat bergantung pada subsidi dan kompensasi dari APBN. Hal ini membuat skema bisnis-to-bisnis untuk memensiunkan PLTU kurang menarik bagi investor.
“Dengan kondisi keuangan yang sudah over-leverage, PLN sulit menarik pinjaman baru dengan bunga rendah untuk mendanai pensiun dini PLTU,” papar laporan Celios dalam kajian Celios bertajuk "Pertukaran Utang Dengan Pemensiunan PLTU Batubara, rilis beberapa waktu lalu, dikutip Minggu (8/12).
Pendekatan debt swap diusulkan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan ini, sekaligus memberikan manfaat bagi negara maju yang dapat mencatatkan pendanaan tersebut sebagai bagian dari kontribusi iklim mereka.
Baca Juga: Tidak Suntik Mati PLTU, Pemerintah Pilih Lakukan Opsi Ini
Daftar 19 PLTU yang bisa dilakukan debt swap:
1. PLTU Suralaya
2. PLTU Paiton
3. PLTU Pelabuhan Ratu
4. PLTU Indramayu
5. PLTU Pangkalan Susu
6. PLTU Tanjung Awar-Awar
7. PLTU Nagan Raya
8. PLTU Pacitan
9. PLTU Rembang
10. PLTU Labuan
11. PLTU Adipala
12. PLTU Bukit Asam
13. PLTU Labuan Angin
14. PLTU Teluk Sirih
15. PLTU Ombilin
16. PLTU Tenayan
16. PLTU Tarahan
18. PLTU Sebalang
19. PLTU Air Anyir