Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
Indonesia sendiri memiliki biodiversitas alam terbanyak kedua di dunia setelah Brasil, sehingga bahan baku herbal untuk membuat obat banyak tersedia. Namun sayangnya, pemanfaatan OMAI di Indonesia justru kalah dibandingkan negara-negara lain. “Di Jerman, 53% pemanfaatan obat-obatan di sana adalah berbahan herbal. Di China itu 30% dan Korea 20%. Kita tertinggal karena tidak difasilitasi penggunaannya,” ungkapnya.
Terkait Revisi Permenkes 54, Direktur Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Dita Novianti Sugandi mengaku instansinya sangat mendukung pemanfaatan OMAI di dunia medis. Permenkes Nomor 17 Tahun 2017 disebutnya mengakomodasi pemanfaatan OMAI di fasilitas layanan kesehatan primer, yaitu Puskesmas.
“Sementara untuk Permenkes 54, untuk bisa memasukkan obat tertentu ke daftar obat nasional yang dapat digunakan dalam JKN ada mekanismenya. Terutama harus ada penyampaian usulan dari pihak terkait yang dilengkapi data pendukung, yang nanti akan dikaji oleh Komite Nasional sesuai international practice, serta memenuhi kriteria tertentu dan disetujui BPOM. Tidak ada niat kami menghalangi penggunaan obat herbal dalam JKN, karena buktinya sudah bisa digunakan di fasilitas kesehatan primer,” kata Dita Novianti Sugandi.
Baca Juga: Jokowi sebut tingginya importasi bahan baku farmasi sebabkan pemborosan devisa
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Muhammad Khayam menilai, ketergantungan industri farmasi di dalam negeri terhadap bahan baku impor tidak lepas dari status penanaman modal asing (PMA) perusahaan-perusahaan tersebut.
“Tingkat ketergantungan perusahaan farmasi PMA kepada induknya masih tinggi. Dari 24 perusahaan farmasi, hanya 4 perusahaan berstatus BUMN dan sisanya swasta nasional,” kata Muhammad Khayam.
Sementara untuk membangun pabrik petrokimia di dalam negeri yang bisa memasok kebutuhan industri farmasi, secara keekonomian dinilai kurang feasible. “Dari hitungan bisnis memang industri bahan baku kurang menarik karena kurang feasible kalau hanya memasok kebutuhan di dalam negeri. Lalu insentifnya juga dinilai belum mampu menarik investasi. Tapi nanti coba kita dorong Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) bahan baku obat ini agar bisa jadi menarik,” ujarnya.
Selanjutnya: 90% Bahan baku obat masih impor, Jokowi dorong kemandirian industri farmasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News