kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.443.000   13.000   0,91%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Indonesia harus tingkatkan bisnis bertanggungjawab sosial untuk dongkrak ekspor


Kamis, 15 September 2011 / 10:34 WIB
Indonesia harus tingkatkan bisnis bertanggungjawab sosial untuk dongkrak ekspor
ILUSTRASI. Karyawan memotret layar pergerakan perdagangan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (23/10/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.


Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Untuk mendongkrak ekspor, Industri dalam negeri selayaknya menaati konsep praktek bisnis yang bertanggungjawab secara sosial (social compliance).

Pasalnya, negara tujuan ekspor Indonesia telah meratifikasi aturan yang diterbitkan International Labour Organization (ILO) mengenai kewajiban agar perusahaan tidak hanya memperhatikan soal produksi, tapi juga jaringan pasokan dan distribusi.

"Ekspor harus cari jalan lewat social compliance. Jika negara tujuan ekspor menghambat ekspor Indonesia dikaitkan WTO (World Trade Organization) masih bisa dibela, tapi kalau terkait sosial compliance susah, tidak ada yang bisa bela," tutur Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, Rabu (14/9).

Social compliance itu diperlukan agar ada keharmonisan dengan serikat pekerja sehingga tidak akan ada aksi menuntut hal yang tidak rasional dengan alasan kenaikan harga komoditi. "Hubungan baik dengan serikat pekerja itu juga untuk meredam berbagai tuntutan yang bisa berefek terhadap ekspor," katanya.

Namun, persoalan muncul ketika keharusan social compliance juga berlaku untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang telah banyak berkecimpung di pasar ekspor. Aturan yang dirilis ILO itu belum cukup familiar di kalangan UKM sehingga ada kekhawatiran tidak terpenuhinya social compliance oleh UKM bakal menghambat ekspor mereka nantinya. "Padahal sekarang banyak UKM yang berkontribusi di pasar ekspor," ujarnya.

Untuk itu, pengusaha besar seharusnya bisa menjalin kemitraan untuk membantu UKM meraih pasar ekspor tanpa nantinya dijegal soal social compliance oleh negara lain. Kerjasama kemitraan itu tidak hanya dilakukan karena ada kekhawatiran terhadap krisis finansial yang menghadang, tapi lebih pada implementasi perdagangan tahun berikutnya yang harus menganut social compliance.

Wakil Menteri Perdagangan, Mahendra Siregar, menambahkan, prinsip kepatuhan sosial ketenagakerjaan itu belum ada yang dituangkan pada industri dalam negeri, terutama UKM. Apabila hal tersebut tidak segera ditindaklanjuti maka kemungkinan besar akan menjadi celah untuk membatasi ekspor Indonesia. "Sebab ada beberapa kasus yang terjadi karena masalah itu," ucapnya.

Sementara itu, Direktur ILO untuk Indonesia Peter van Rooij mengutarakan, aturan social compliance itu tidak hanya harus diimplementasikan pada transaksi perdagangan luar negeri. Hal itu juga penting untuk menjaga pasar domestik.

Sebab, sebanyak 183 anggota ILO sudah menjadikan social compliance sebagai standar pada kegiatan perdagangan mereka. Indonesia pun, menurutnya, harus menerapkan hal itu. Sebab, hubungan industrial Indonesia yang jauh lebih baik ketimbang satu dekade lalu menjadi salah satu pemicu meningkatkan investasi asing di Indonesia. "Investor melihat Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi ILO itu," tambahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Distribution Planning (SCMDP) Supply Chain Management Principles (SCMP)

[X]
×