kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Indonesia raja nikel dunia, puluhan tahun hanya ekspor bijih mentah


Senin, 16 Desember 2019 / 15:18 WIB
Indonesia raja nikel dunia, puluhan tahun hanya ekspor bijih mentah
ILUSTRASI. Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). ANTARA FOTO/Jojon/foc.


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Larangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia berbuntut panjang. Uni Eropa akan menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2020. 

Uni Eropa gerah dengan kebijakan larangan ekspor biji nikel yang dilakukan Indonesia, berdampak merugikan bagi industri baja di negara-negara Uni Eropa karena keterbatasan akses bahan baku baja. 

Indonesia sendiri saat ini menguasai lebih dari 20% total ekspor nikel dunia. Negara ini menjadi eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. 

Baca Juga: Lawan diskriminasi sawit, Pemerintah Indonesia resmi gugat Uni Eropa di WTO

Nilai ekspor bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017. 

"Terlepas dari usaha yang kami lakukan, Indonesia tetap tidak beranjak dari langkahnya dan mengumumkan larangan ekspor pada Januari 2020," kata Komisioner Perdagangan UE Cecilia Malmstrom sebagaimana dikutip Kompas.com dari Reuters, Minggu (15/12/2019). 

Uni Eropa juga keberatan dengan kebijakan Indonesia yang membebaskan pajak dan bea masuk impor untuk pembangunan smelter sepanjang memenuhi konten lokal sebesar 30%, dan menganggap kebijakan itu sebagai subsidi ilegal. 

Baca Juga: Neraca perdagangan mengalami defisit US$ 1,33 miliar pada November 2019

Larangan ekspor bijih mineral sebenarnya sudah didengungkan jauh hari. Pemerintah mendorong pengolahan mineral bisa dilakukan dalam negeri untuk memberi nilai tambah ketimbang mengekspor dalam bentuk bijih mentah. Hilirisasi atau usaha meningkatkan nilai tambah tambang mineral dan batubara diatur dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Pasal 95 huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 secara tegas menyebutkan, pemegang izin usaha pertambangan wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara di dalam negeri. Dalam hilirisasi, pengolahan tidak hanya mengambil manfaat mineral dan batubara dalam bentuk bijih atau konsentrat. Tetapi mengolah dan memurnikan hingga menjadi bentuk lanjutan dengan nilai lebih tinggi. 

Nilai tambah feronikel 

Mengutip pemberitaan Harian Kompas 26 November 2019, bijih nikel yang diolah menjadi feronikel nilainya naik hingga 10 kali lipat. Nilai nikel kian meroket sampai 19 kali lipat apabila feronikel diolah menjadi stainless steel. Begitu pula bijih bauksit yang diolah dan dimurnikan menjadi alumina, akan bernilai delapan kali lipat. 

Alumina yang ditingkatkan menjadi aluminium akan bernilai hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan saat masih berupa bijih bauksit. Selain itu, hilirisasi bisa mengatasi masalah defisit transaksi berjalan Indonesia. Sayangnya, sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 disahkan, kepatuhan terhadap hilirisasi tidak pernah benar-benar ditegakkan. Imbasnya, banyak perusahaan tambang yang terlambat membangun smelter. 

Baca Juga: Digugat Uni Eropa, Kejaksaan Agung siap dampingi pemerintah

Ekspor bijih nikel saat ini menyumbang sekitar 0,4% dari total ekspor dan perkiraan kami nilai ekspor akan berkurang sekitar US$ 65 juta setiap bulan (atau setara US$ 0,78 miliar per tahun). Namun, jumlah ini relatif kecil dibandingkan total ekspor keseluruhan Indonesia yang lebih dari US$ 180 miliar setiap tahun. 

Hilangnya pendapatan ekspor dari bijih nikel tak signifikan walau tetap berdampak pada meningkatnya defisit transaksi berjalan secara langsung. Dampak hilangnya ekspor bijih nikel itu juga hanya akan berlangsung dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, ekspor produk hilir bijih nikel dengan nilai tambah yang lebih tinggi akan mampu membawa dampak positif pada transaksi berjalan Indonesia. 

Baca Juga: Larangan ekspor nikel digugat Uni Eropa di WTO, Jokowi: Ya hadapi

Sebagai contoh, larangan ekspor mineral (termasuk nikel) 2014-2017 turut berdampak pada turunnya ekspor bijih nikel Indonesia sekitar US$ 1,5 miliar per tahun. Namun, ekspor produk hilir bijih nikel meningkat signifikan seiring kenaikan investasi pada industri terkait. Khususnya ekspor produk besi dan baja yang melesat dari US$ 1,1 miliar di 2014 menjadi US$ 5,8 miliar di 2018. 

Sementara defisit neraca perdagangan besi dan baja menjadi lebih terkendali, terlepas adanya peningkatan impor besi dan baja untuk pembangunan infrastruktur pada periode yang sama.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Raja Nikel Dunia, Puluhan Tahun Hanya Ekspor Bijih Mentah"
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Muhammad Idris

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×