Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Pertanian (Kemtan) mengatakan, saat ini Indonesia sudah mengalami swasembada daging unggas. Bahkan, jumlah produksinya sudah melebihi kebutuhan masyarakat.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengatakan, jumlah populasi unggas di Indonesia sudah lebih dari 1 miliar ekor. Padahal, pada tahun 1970-an, jumlah unggas di Indonesia baru berkisar ratusan ribu ekor.
"Ini lompatan yang luar biasa. Sehingga produksi daging unggas yang sudah swasembada ini dapat menjadi motor untuk mengubah pola konsumsi protein hewani asal ternak dari red meat ke white meat," terang I Ketut seperti yang tetera dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Selasa (27/2).
I Ketut Diarmita menjelaskan, protein hewani asal ternak ini memiliki posisi penting karena menentukan kualitas sumberdaya manusia sebagai agen perubahan.
Lebih lanjut Ketut mengatakan, selama hampir 5 dekade terakhir, peranan unggas baik lokal maupun ras semakin meningkat tajam dalam sumbangannya terhadap produksi daging nasional. Berdasarkan data statistik peternakan, pada awal tahun 1970 kontribusi daging unggas hanya sebesar 15%, tetapi pada tahun 2017 produksinya telah mencapai 2,1 juta ton atau 66,34% terhadap produksi daging secara keseluruhan.
Sementara, produksi telur secara keseluruhan sebanyak 1,9 juta ton, telur ayam buras sebanyak 196.138 ton, sedangkan telur ayam ras sebanyak 1,4 juta ton, dan telur itik sebanyak 290.110 ton.
“Populasi unggas lokal seperti ayam buras dan itik cenderung stabil, dan peningkatannya relatif kecil,” kata I Ketut Diarmita.
Menurutnya, selama tahun 2012 – 2015 peningkatan ayam buras hanya berkisar 4% – 5%, sedangkan ayam ras pedaging 6%, ayam ras petelur 5,7% serta itik 0,1%. Peningkatan populasi unggas lokal tidak setinggi ayam ras, sehingga ayam buras makin lama makin tertinggal peningkatan populasinya.
Selain populasi, produksi ayam buras juga dinilai lambat dan usahanya dibatasi persyaratan hanya untuk UMKM. Dengan demikian I Ketut berpendapat, unggas lokal perlu diarahkan dan dikembangkan dengan sentuhan teknologi agar tetap berkembang tetapi tetap menjadi perusahaan mikro kecil dan menengah dan tidak meniru pola pengembangan ayam ras.
Saat ini pengembangan unggas lokal masih bersifat mikro dimana penguasaan input produksi sejak dari hulu sampai hilir identik dengan peternakan rakyat yang berbasiskan sumber daya lokal. Sebaliknya untuk ayam ras telah menjadi industri besar yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir yang mampu memenuhi konsumsi daging dan telur domestik.
I Ketut melihat, ayam buras sangat akrab di pedesaan dan dapat menjadi kegiatan penting untuk menggerakkan perekonomian pedesaan. Untuk itu, pemerintah mengembangkan usaha ternak ayam buras di masyarakat sebagai instrumen dalam program pengentasan kemiskinan dan perbaikan gizi masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News