Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus berupaya membenahi ketentuan regulasi impor limbah non-bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagai bahan baku industri.
Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan beleid baru Permendag Nomor 92 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri.
Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di dalam beleid sebelumnya, yaitu Permendag Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri.
Baca Juga: Asosiasi plastik (INAPLAS) dukung Permendag tentang impor limbah non-B3
Kendati demikian, upaya yang demikian agaknya masih belum mampu mengakomodasi aspirasi pelaku industri sepenuhnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Yerry Idroes mengatakan, kriteria limbah non-B3 seperti misalnya skrap baja paduan tidak sesuai dengan kriteria yang berlaku di pasar internasional.
Sementara, kriteria yang ditetapkan di dalam regulasi yang ada dinilai masih cenderung sulit untuk dipenuhi oleh pemasok global.
Oleh karenanya, regulasi impor limbah non B3 yang ada dikhawatirkan mengganggu pasokan limbah non B3 impor yang sejatinya dibutuhkan oleh pelaku industri sebagai bahan baku.
“Supplier luar negeri tidak berani pasok kalau tidak sesuai dengan aturan Permendag tersebut,” kata Yerry kepada Kontan.co.id, Minggu (12/1).
Padahal, beberapa limbah non B3 tertentu seperti misalnya skrap baja merupakan bahan baku yang penting bagi pelaku industri baja, utamanya yang berada di sektor hulu. Yerry mencatat setidaknya kebutuhan skrap baja bisa 30%-70% dari kapasitas industri baja di sektor hulu.
Baca Juga: Gajah Tunggal (GJTL) tak terdampak beleid impor limah non-B3
Sementara itu, sebagian besar dari angka tersebut masih dipasok secara impor. Angka ini juga belum mencerminkan kebutuhan limbah non B3 logam lainnya seperti; skrap nikel, skrap aluminium, dan sebagainya yang juga dibutuhkan oleh pelaku industri baja sebagai bahan baku pelapis pada produk Coated Sheet seperti misalnya baja lapis seng, baja lapis galvalum, dan lain-lain.
“Pasokan skrap lokal masih sedikit dan terpencar,” ujar Yerry. Oleh karenanya, ia menyarankan kriteria limbah non B3 yang diatur sebaiknya mengacu kepada standar internasional The Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI).
Sementara itu, dampak yang demikian tampaknya kurang begitu dirasakan di sektor hilir. Pelaku industri baja di sektor hilir seperti PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk alias Spindo misalnya, sama sekali tidak menggunakan limbah non B3 logam sebagai bahan baku.
Baca Juga: Regulasi impor limbah non-B3 rancu, industri kertas tertekan
Sebaliknya, emiten baja yang memiliki kode saham ISSP ini bergantung pada pasokan bahan baku produk-produk baja seperti misalnya hot rolled coil (HRC) dan Cold Rolled Coil (CRC).
Adapun angka kebutuhan dari bahan-bahan baku tersebut mencapai 350.000 ton tiap tahunnya. “Kebutuhan ini dipasok oleh pemasok lokal dan impor,” Investor Relations ISSP Johannes Edward kepada Kontan.co.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News