kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri benih minta waktu kembangkan benih transgenik


Senin, 31 Oktober 2011 / 15:13 WIB
Industri benih minta waktu kembangkan benih transgenik
ILUSTRASI. Logo PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA


Reporter: Bernadette Christina Munthe |

JAKARTA. Kementerian Pertanian perlu meninjau kembali dampak beleid Peraturan Menteri Pertanian No. 61 tahun 2011 mengenai Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Pelaku usaha dan sejumlah pengamat menilai aturan pemanfaatan produk rekayasa genetika ini belum melihat masalah pertanian di Indonesia secara komprehensif.

Ketua Komisi Keanekaragaman Hayati Agus Pakpahan mengatakan pemanfaatan teknologi transgenik tidak terelakkan, terutama di tengah ancaman krisis pangan. Rekayasa genetika adalah salah satu upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan dunia.

Namun, pemanfaatan teknologi ini bisa jadi masalah jika Indonesia tergantung kepada benih rekayasa genetika impor. Ketua Umum Asosiasi Benih Indonesia Elda D. Adiningrat mengatakan, produk rekayasa genetika yang dipergunakan di Indonesia seharusnya adalah produk lokal yang dirancang untuk menjawab kebutuhan Indonesia.

“Misalnya hama tahan wereng, tahan kekeringan, bisa meningkatkan produktivitas sesuai dengan kebutuhan kita dan ketersediaan lahan,” kata Elda dalam diskusi bersama wartawan di Jakarta, Senin (31/10).

Ia menegaskan, industri dalam negeri sebenarnya tak keberatan untuk adu kemampuan di bidang benih transgenik. Yang penting, pemerintah memberikan waktu yang cukup sehingga mereka dapat mengembangkan diri sebelum produk asing masuk.

“Ini kan kita kaget, tiba-tiba bisa masuk. Sebenarnya kita bisa kalau diberi waktu, seperti pada kasus hibrida. Dalam waktu 5 tahun, penelitian kita di bidang jagung berkembang pesat dan bisa bersaing,” tuturnya.

Elda mengakui biaya pengembangan benih rekayasa genetika cukup besar, yakni US$ 120 juta hingga US$ 300 juta per varietas. Untuk bisa menggelontorkan dana riset sebesar ini, perusahaan harus memiliki omzet US$ 15 miliar per tahun. Sebab, biaya riset dan pengembangan umumnya 20% dari omzet perusahaan.

Namun, lanjutnya, masalah biaya sudah tak jadi soal bagi sejumlah perusahaan benih. Insentif yang lebih mereka harapkan adalah pemerintah menahan pemasukan benih impor dan memberi waktu industri mengembangkan penelitian rekayasa genetika.

Ia pun mencontohkan kebijakan pemerintah China dan Thailand yang belum mengizinkan komersialisasi benih produk rekayasa genetika. “Di Thailand dan China, penggunaan rekayasa genetika itu baru untuk kepentingan riset. Tetapi kalau di Indonesia, riset belum dikembangkan sudah boleh masuk untuk komersial,” keluhnya.

Menambahi keluhan tersebut, Agus mengingatkan agar pemerintah juga memikirkan dampak penggunaan benih transgenik terhadap industri terkait.

“Kalau mau egois saja sebenarnya bisa, perusahaan benih laku dan produksi petani meningkat. Tetapi pabrik pestisida nanti bagaimana karena ada beberapa transgenik yang tidak membutuhkan pestisida,” kata Agus dalam acara yang sama.

Ia juga mengungkapkan, petani sebenarnya tak terlalu memikirkan apakah bibit tersebut berasal dari rekayasa genetika, hibrida, atau benih biasa. Bagi mereka, yang penting hasilnya baik dan menguntungkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×