Reporter: Agung Hidayat | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis obat sedang kurang sehat. Meningkatnya harga bahan baku obat dan pada saat bersamaan harga jual cenderung stagnan menjadi penyebab kurang berkembangnya industri farmasi dalam negeri sekarang ini.
Apalagi, mayoritas obat-obatan produksi tersebut merupakan golongan generik, yang biasa digunakan untuk kebutuhan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. "Secara volume tampaknya ada kenaikan, namun harga obat seperti BPJS itu tergolong murah," kata Vincent Harijanto, Ketua Litbang Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) kepada KONTAN, Kamis (2/11).
Tumbuh moderat
Berdasar perkiraan GP Farmasi, pasar obat sampai kuartal III-2017 nilainya diperkirakan naik sebesar 5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di tengah pasar obat yang sulit, sampai akhir tahun ini bisnis obat-obatan nasional akan dapat bertumbuh moderat di rentang 5% sampai dengan 10%.
Vincent mencatat, setidaknya ada beberapa persoalan yang membuat industri farmasi lokal kurang tumbuh signifikan. Pertama, adanya peraturan proteksi lingkungan yang dilakukan Pemerintah Tiongkok, sehingga menekan produksi bahan baku obat.
Kedua, melonjaknya nilai tukar mata uang yuan terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Sehingga mempengaruhi harga bahan baku obat.
Sekadar catatan, Pemerintah China menerapkan environmental protection terhadap industri kimia dengan standar ketat. Alhasil, pabrikan yang dinilai tak layak beroperasi ditutup paksa.
Kondisi itu pula yang menyebabkan pasokan bahan baku obat-obatan menjadi semakin berkurang. Padahal, bahan baku farmasi Indonesia kebanyakan diimpor dari China. Secara total, Vincent menyatakan, 95% kebutuhan bahan baku obat didatangkan melalui impor.
Lalu lantaran kecilnya margin obat BPJS, menurut Vincent, industri farmasi harus pandai-pandai menyikapi ini dengan melakukan pengembangan produk yang lebih bernilai tambah. "Seperti produksi obat-obat tertentu, misalnya obat khusus Kanker atau penyakit dalam lain," sebut Vincent.
Mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemperin), sebesar 70% kebutuhan obat dalam negeri disuplai industri farmasi dalam negeri. Adapun nilai pasar produk farmasi di Indonesia sekitar US$ 4,7 miliar. Jumlah tersebut setara dengan porsi 27% dari total pasar farmasi di ASEAN.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berharap, industri farmasi dapat lebih mendominasi pasar domestik dan ekspor. Apalagi, saat ini Pemerintah Indonesia tengah meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035, industri farmasi dan bahan farmasi merupakan salah satu sektor andalan yang berperan besar sebagai penggerak utama perekonomian di masa mendatang.
Kementerian Perindustrian mencatat, industri farmasi berkontribusi sebesar Rp 54,4 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Industri ini juga mampu menyerap tenaga kerja hingga lebih dari 40.000 orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News