Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri media luar griya atau out of home (MLG/OOH) menghadapi tantangan baru setelah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
PP tersebut, khususnya pada Pasal 449, mengatur zonasi pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Menurut kalangan pengusaha dan pelaku industri kreatif, peraturan ini dibuat tanpa melibatkan mereka, sehingga dinilai bermasalah dan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi industri periklanan serta sektor-sektor turunannya.
Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi dalam diskusi media bertajuk Kontroversi Pasal Larangan Media Luar Ruang 500 Meter dari Satuan Pendidikan dan Tempat Bermain Anak di PP Nomor 28 Tahun 2024, Rabu (28/08), mengatakan bahwa peraturan ini dapat menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Baca Juga: Kemenkes: Pengendalian Tembakau Bakal Ditangani Beberapa Kementerian dan Lembaga
“Kemungkinan akan terjadi PHK karena ini akan menimbulkan efek domino, terutama bagi industri kreatif kelas menengah ke bawah. Dampaknya sangat signifikan,” ujar Fabianus Bernadi dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id.
Dari 57 perusahaan yang tersebar di 26 kota, diperkirakan akan terdampak oleh regulasi ini. Bahkan, industri yang 75 persen mengandalkan iklan dari produk rokok, diprediksi sebanyak 25 persen perusahaannya akan mengalami kebangkrutan.
“Contohnya di Bali, sudah ada laporan tentang festival musik yang batal dilaksanakan karena tidak mendapatkan sponsor dari industri rokok. Pengiklan tidak berani memasang iklan karena khawatir melanggar PP 28,” jelasnya.
Fabianus juga mengungkapkan bahwa pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan regulasi tersebut.
Padahal, sejak peraturan ini masih berupa rancangan (RPP), industri media luar ruang sudah merasakan dampaknya, terutama karena kontribusi sponsor rokok yang cukup besar.
Baca Juga: APTI Khawatir Ada Intervensi Asing dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, Ini Alasannya
“Ini bukan hanya soal 500 meter dari satuan pendidikan, tetapi juga karena iklan tidak dapat ditempatkan di jalan-jalan utama. Menurut saya, aturan ini harus dihapus karena reklame seharusnya ditempatkan di lokasi yang ramai,” tegasnya.
Fabianus berharap agar penerapan PP ini ditunda dan selama masa penundaan, pihak pengusaha dilibatkan untuk memberikan masukan.
“Kami meminta agar peraturan ini direvisi, paling tidak kembali ke Peraturan 109,” tambahnya.
Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, juga berharap agar penerapan regulasi ini ditunda.
“Sebuah regulasi seharusnya memenuhi dua kriteria: pertama, mempertimbangkan keadilan; kedua, mengedepankan efisiensi. Keduanya tidak mudah dicapai, dan seharusnya melibatkan pihak-pihak terkait agar regulasi ini menjadi efisien dan adil. Dalam PP ini, ada yang merasa tidak diperlakukan adil,” kata Hery.
Hery juga menyampaikan bahwa sebelum aturan ini disahkan, DPI telah mencoba menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Baca Juga: YLKI Beri Nilai Merah Soal Pengendalian Tembakau di Era Jokowi
Sikap abai Kementerian Kesehatan ini disayangkan, karena aturan tersebut berdampak langsung pada pelaku usaha media luar ruang serta sektor-sektor pendukungnya, seperti desainer dan percetakan.
“Industri kreatif yang berpotensi menyerap tenaga kerja baru terancam akibat kebijakan ini,” ujarnya.
Mengutip data Nielsen tahun 2019, rokok adalah kategori produk yang paling banyak diiklankan di media luar ruang, dengan lebih dari 1.000 titik iklan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
“Jika dijalankan, larangan iklan ini berpotensi menekan pendapatan media luar ruang yang bergantung pada promosi produk rokok. Kerugian besar tidak hanya timbul dari biaya langsung industri, tetapi juga dari biaya tidak langsung seperti pembuatan materi dan iklan promosi,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sutrisno Iwantono, juga menyarankan agar regulasi ini direvisi.
“Jika tidak bisa dibatalkan, setidaknya pelaksanaannya ditunda. Kami berharap pemerintah mau mendengar masukan kami,” kata Sutrisno.
Baca Juga: AMTI dan APCI Tolak Aturan Pengamanan Zat Adiktif di PP Kesehatan
Sebagai asosiasi multisektor, APINDO telah menerima banyak masukan tentang PP 28/2024. Selain dari sektor periklanan, keluhan juga datang dari sektor tembakau, makanan dan minuman, serta perdagangan.
“Pembatasan iklan ini, yang sebagian besar terkait dengan tembakau, seharusnya tidak datang secara tiba-tiba. Pemerintah kurang mendengarkan aspirasi masyarakat, sehingga menimbulkan gejolak yang luar biasa. Ini menandakan belum adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha,” ujar Sutrisno.
Ia menambahkan bahwa APINDO saat ini telah mengumpulkan daftar masalah, bukan hanya dari sektor periklanan tetapi juga dari seluruh sektor lainnya. Setelah semuanya terkumpul, APINDO berencana melakukan audiensi dengan pemerintah.
“Isu ini harus ditangani secara komprehensif, namun tidak bisa APINDO lakukan sendirian. Harus didukung oleh asosiasi sektoral dan harus ada pergerakan bersama,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News