Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pemerintah berniat realisasikan pelarangan ekspor bahan baku rotan untuk menumbuhkan industri pengolahan rotan dalam negeri.
"Akan diberlakukan larangan ekspor bahan baku rotan. Kalau mau ekspor bisa rotan budidaya," ungkap Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, Kamis (8/9).
Langkah ini untuk menjawab kebingungan para pengusaha rotan yang menilai pemerintah melakukan tarik ulur dalam menetapkan kebijakan ekspor rotan.
Kebijakan ini akan dijalankan karena produksi industri pengolahan rotan makin melorot lantaran kekurangan bahan baku. Pada 2007, industri pengolahan rotan tercatat mendapat suplai bahan baku sebesar 373.000 ton. Namun, angka itu langsung turun drastis menjadi 150.000 ton pada 2010.
Imbas kekurangan bahan baku itu membuat ekspor produk olahan rotan turun dari 113.000 ton pada 2007 menjadi 44.000 ton pada 2010. Padahal, Indonesia merupakan penghasil rotan terbesar di dunia dengan porsi sekitar 85% yang setara dengan 140.000 ton.
Merosotnya angka ekspor produk olahan rotan karena sentra penghasil bahan baku rotan lebih memilih mengekspor produknya secara langsung tanpa pengolahan. Setiap tahunnya, Indonesia mengekspor 32.000 ton ke berbagai negara.
Oleh karena itu, Hidayat mengusulkan, disinsentif untuk ekspor bahan baku terbarukan seperti rotan berupa penerapan bea keluar tinggi. Secara bertahap, pemerintah kemungkinan akan menutup ekspor bahan baku rotan pada 2014.
Pelarangan ekspor bahan baku itu, jelasnya, akan meningkatkan utilisasi kapasitas produksi industri produk jadi rotan, penyerapan tenaga kerja, meningkatnya daya saing produk jadi rotan di pasar global, serta meningkatnya ekspor produk jadi rotan sehingga menambah pendapatan devisa.
Sayangnya, Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menanggapi dingin rencana tersebut. Sumber masalah penurunan industri pengolahan rotan bukan disebabkan buka tutupnya keran ekspor. Namun, lebih pada kebijakan Indonesia yang tidak jelas sehingga membuat negara maju memproduksi rotan plastik yang diterima di pasaran.
Akibatnya, seluruh dunia mengalami demam rotan plastik. Bahkan, Cirebon pun ikut terbawa tren rotan plastik lalu mendirikan pabrik rotan plastik. Menurut Ketua Asmindo Ambar Tjahyono, agresi rotan plastik itu jadi tidak terbendung sehingga ekspor rotan asli terus turun hingga 7,5% kontribusinya terhadap total ekspor Indonesia. "Kalau jadi ditutup, dunia tidak akan kenal rotan lagi," tuturnya, Kamis (8/9).
Menurutnya, pemerintah dan semua pihak terkait perlu mengubah tren sehingga dunia kembali mencari produk berbahan baku rotan asli. Negara-negara seperti Jerman, Itali, dan Belanda yang membuat rotan plastik kembali menggunakan rotan asli. "Mereka harus diajak karena mereka yang membuat tren," ujarnya.
Selain itu, pelarangan ekspor bahan baku rotan hanya akan mematikan daerah penghasil rotan. Sebab, ekspor hanya menjadi satu-satunya sumber penghasilan jika tidak ada satupun industri yang mampu menyerap hasil alam itu.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh menyetujui hal itu. Pelarangan ekspor bahan mentah bisa mematikan sumber pendapatan daerah yang tidak memiliki industri.
Contohnya saja, ekspor rotan. Apabila pelarangan ekspor bahan mentah diberlakukan maka Sulawesi dan Kalimantan yang menjadi penghasil terbesar itu bakal menjerit lantaran industri dalam negeri pun tidak mampu menyerap semua pasokan.
Ekspor mutiara
Sama halnya dengan ekspor mutiara. Setiap tahun Indonesia bisa menghasilkan 130 juta butir mutiara, tapi hanya 1% yang dikirim ke luar negeri. Menurutnya, apabila pelarangan ekspor bahan mentah juga diberlakukan untuk mutiara artinya menutup celah pangsa pasar global yang hanya sekitar 1% dari total hasil produksi dalam negeri.
Padahal, dampaknya ekspor dengan porsi hanya 1% itu sangat besar bagi daerah penghasil mutiara seperti Maluku yang tidak memiliki industri penampung bahan mentah tersebut.
Sebagai solusi makanya pemerintah merilis kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri agar industri lokal dapat berkembang, pasokan domestik tertampung, sekaligus kebutuhan dalam negeri pun terpenuhi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News